Bisnis.com, MANADO—Kenaikan harga tomat yang menjadi penyebab utama inflasi Sulawesi Utara pada Juni disebabkan oleh penurunan produksi di tingkat petani dan panjangnya rantai pasok di tingkat pedagang.
Kepala Seksi Tanaman Sayur dan Obat Dinas Pertanian Sulawesi Utara Jemmy Palendeng mengklaim bahwa penurunan produksi itu disebabkan oleh penurunan harga yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
Para petani, lanjutnya, memilih untuk tidak memetik tomat yang pada Januari—April mengalami penurunan. Rendahnya harga jual tomat membuat petani tidak dapat memenuhi ongkos produksi untuk pemetikan tanaman hortikultura itu.
“Saya pernah jalan seperti itu banyak tomat di jalan 2 bulan lalu, harga tomat 1 kas Isinya kurang lebih 40kg itu Rp30.000, artinya kan perkilo itu tidak sampai seribu perkilo, akhirnya petani gak mau tanam,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Lebih jauh dia menjelaskan, dengan harga jual serendah itu para petani tidak membayar ongkos para buruh pemetik tomat. Dia menuturkan, buruh di daerah seperti Langowan dan Modoinding dibayar rata-rata sekitar Rp120.000 perhari untuk pemetikan.
“Jadi kalau dia panen tomat, terus jatuh harganya ya tidak dipanen itu tomatnya. Selalu seperti itu yang menjadi masalah di sini [Sulut],” katanya.
Dia menuturkan, sebenarnya jumlah produksi tomat pertahun di Sulut masih melebihi kebutuhan konsumsi lokal. Namun demikian, tomat yang diproduksi juga banyak dikirimkan ke sejumlah daerah lain di Indonesia.
Menurutnya, persoalan rantai pasok yang menjadi permasalahan harga tomat di Sulut. Dia menuding para pedagang banyak bermain curang dalam mengatur harga komoditas itu. Hal yang sama juga terjadi dalam perdagangan cabai.
“Selain cabai dan tomat juga, kadang kala ada wortel, kubis, macam-macam sayur. Itu rata-rata dikirim ke daerah lain dan perdagangannya melalui jalur darat kan, ini yang tidak terlacak perdagangannya,” jelasnya.
Pada kasus tertentu, menurutnya para pedagang sering kali sengaja menahan kedatangan barang ke pasar. Hal ini membuat permintaan meningkat dan harga menjadi naik di tingkat pengecer. Alhasil, menurutnya kenaikan harga dipengaruhi oleh distributor.
Sebelumnya, Kepala Bagian Perekonomian Biro Perekonomian Setda Provinsi Sulut Sonny Runtuwene juga mengatakan bahwa volatilitas harga tomat disebabkan oleh permainan pedagang. Menurutnya, panjangnya rantai distribusi menjadi kendala utama.
“Untuk tomat harga di tingkat petani hanya Rp8.000—Rp15.000 per kilo, sampai pedagang jadi Rp26.000, di tingkat petani tidak banyak terjadi perubahan sebenarnya. Hal ini terjadi karena jaringan pedagangnya,” jelasnya.
Dia mengatakan, setidaknya komoditas ini mengalami empat kali kenaikan harga setelah terlepas dari tangan petani. Pedagang pengumpul, perantara, pedagang besar, hingga pedagang pengecer di pasar mengambil margin yang cukup besar.
“Sehingga di tingkat pengecer sudah tinggi, sehingga dua komoditas [cabai dan tomat] selalu naik cukup tajam. Akibatnya, dampaknya terhadap NTP [nilai tukar petani] tidak besar, karena petani tidak mendapatkan kelebihan yang signifikan,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi tomat pada 2017 di Sulut mencapai 30.276 ton, sedangkan jumlah konsumsinya diperkirakan mencapai 20.619 ton. Dengan demikian, masih ada surplus produksi sekitar 9.567 ton pertahun.
Asisten Analis Fungsi Asesmen Ekonomi dan Surveilans Bank Indonesia Sulut Yosua Nadapdap menuturkan, meski secara kumulatif tercatat surplus, namun produksi bulanannya tidak demikian. Di bulan-bulan tertentu, produksi jauh lebih rendah daripada kebutuhan konsumsi.
Menurutnya, hal itu membuat persoalan naik turunnya harga tomat lebih kompleks untuk dipecahkan. Faktor lain seperti permintaan dari daerah lain seperti Papua dan Maluku, juga turut membuat pasokan tomat lokal sulit terjaga.