Bisnis.com, MANADO —Sulawesi Utara mencatatkan inflasi 2,6% pada Mei akibat meroketnya harga tomat sayur. Tingkat inflasi itu jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi nasional sebesar 0,68%.
Secara tahun berjalan, inflasi Sulut yang direpresentasikan oleh Kota Manado mencapai 1,14%. Adapun, inflasi secara year on year (yoy) atau dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu mencapai 2,11%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Ateng Hermanto menjelaskan penurunan ini disebabkan oleh kenaikan harga pada kelompok pengeluaran bahan makanan yang mencapai 12,88%. Tomat menjadi komoditas dengan andil terbesat terhadap kenaikan itu.
“Pertama, tomat sayur andilnya 2,13%. Dari inflasi ini hampir seluruhnya disebabkan oleh kenaikan harga tomat sayur, padahal bulan lalu kita tahu tomat sayur mengalami deflasi yang tajam sekali,” ujarnya di Manado, Senin (10/6/2019).
Dia mengatakan bahwa berdasarkan pantauan terhadap kegiatan pertanian di Minahasa, para petani banyak yang memilih tidak memetik tomat pada saat harganya jatuh bulan lalu. Tanaman liar yang berada di sekitar ladang tomatpun ikut tumbuh tinggi.
Akibatnya, pada Mei kualitas tomat yang dihasilkan cenderung lebih kecil dan tidak memenuhi kebutuhan pasar. Tidak seimbangnya pasokan dan permintaan membuat harga komoditas itu naik tajam pada bulan lalu.
Sebagai catatan, lanjutnya, momentum lebaran baru terjadi pada pekan pertama Juni, bukan pada Mei. Ateng memproyeksikan dampak dari kenaikan harga itu masih akan memberi dampak cukup tinggi terhadap inflasi Manado pada Juni.
Selain itu, dia menyampaikan bahwa inflasi pada Mei terjadi di luar pola inflasi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, tingkat inflasi cenderung menurun pada bulan tersebut. Namun kali ini, terjadi lonjakan inflasi yang jauh lebih tinggi dari 4 bulan pertama 2019.
Tingkat Inflasi itu, lanjutnya, lebih tinggi dibandingkan inflasi di 11 daerah lainnya di Sulawesi. Inflasi tertinggi kedua terjadi di Kendari sebesar 1,8% dan ketiga di Gorontalo sebesar 1,64%. Adapun daerah dengan inflasi terendah adalah Bau-bau sebesar 0,15%.
Namun demikian, Ateng mengatakan bahwa kenaikan harga bahan makanan menjadi ironi bagi para petani. Kenaikan harga jual komoditas pertanian rupanya tidak sebanding dengan kenaikan pengaluaran untuk konsumsi dan produksi, sehingga nilai tukar petani (NTP) secara umum menurun.
“Kelompok bahan makanan terjadi inflasi cukup tinggi, tetapi ironisnya NTP pada Mei mengalami penurunan. Kalau kita bandingkan secara grafiknya, NTP pada Mei masih di bawah 2018 masih tantangan sekali,” jelasnya.
NTP Sulut pada Mei mencapai 93,85, atau menurun 0,78% dibandingkan April sebesar 94,60. Secara tahun berjalan penurunan NTP mencapai 1,60%, sedangkan secara tahunan penurunan menurun sebesar 1,07%.
Dia mengatakan, seluruh NTP subsektor mengalami penurunan kecuali hortikultura yang meningkat 1,19% menjadi 89,19. NTP Tanaman Perkebunan Rakyat menjadi sebesar 86,35 menjadi yang terendah dibandingkan subsektor lainnya.
Ateng menyampaikan, inflasi di pedesaan yang mencapai 1,58% menjadi salah satu penyebab utama penurunan NTP. Salah satu pendorong utama hal itu adalah kelompok bahan makanan yang mengalami inflasi sebesar 3,25%.
“Faktor untuk konsumsi rumah tangga itu yang mengalami peningkatan cukup tinggi sehingga berakibat terhadap penurunan NTP. Tetapi sebenarnya biaya produksi peningkatannya lebih rendah dibandingkan yang konsumsi,” tuturnya.
Menurutnya, secara umum tingkat NTP yang masih di bawah 100 merupakan tantangan besar bagi pemerintah daerah. Dia mengatakan, hal itu menunjuukan bahwa secara umum daya beli petani belum membaik dibandingkan dengan kondisi pada 2012.