Bisnis.com, MANADO – Pemprov Sulawesi Utara diharapkan dapat terus melakukan diversifikasi komoditas ekspor andalan dan menggenjot penyarapan anggaran agar mendorong pertumbuahan ekonomi di Bumi Nyiur Melambai pada triwulan III dan IV tahun ini.
Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Sulut Triwulan II/2017 yang tercatat sebesar 5,80% (yoy), mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang mampu mencapai sebesar 6,43% (yoy).
Soekowardjojo, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara mengatakan bahwa hal itu cukup mengkhawatirkan. "Karena terdapat perlambatan hingga sebesar 0,63%, yang tentu bagi pelaku ekonomi, angka ini tentu cukup besar," ujarnya, di sela-sela Seminar Perkembangan dan Outlook Perekonomian Sulut 2017, di Manado, akhir pekan lalu.
Menurutnya meskipun pertumbuhan ekonomi Sulut itu masih lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II/2017 yang tumbuh sebesar 5,01% (yoy). Namun, pertumbuhan Sulut tersebut masih lebih rendah dari pada periode sama 2016 sebesar 6,15% (yoy).
Soekowardjojo pun mengakui bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tersebut berada di luar perkiraan sebelumnya. Pihaknya menilai itu disebabkan oleh terkontraksinya konsumsi pemerintah dan kinerja ekspor.
Menurutnya terjadinya kontraksi ekspor sejalan dengan melambatnya harga komoditas dunia. Selain itu, konsumsi pemerintah yang di luar perkiraan sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan perbaikan alokasi penggunaan anggaran pemerintah.
“Konsumsi pemerintah menurun seiring dengan rendahnya realisasi belanja pemerintah nonmodal pada triwulan kedua 2017 dari pada periode sama 2016, serta pembayaran gaji ke-13 yang bergeser ke Juli [sudah masuk triwulan III],” ujarnya.
Sementara itu, penurunan kinerja ekspor, terutama dipengaruhi oleh menurunnya harga Coconut Oil (CNO) yang merupakan komoditas utama ekspor Sulut, dari 1.701 dolar AS per MT pada triwulan satu menjadi 1.627 dolar AS per MT pada triwulan dua 2017.
"Inilah kendalanya apabila tergantung hanya pada satu jenis komoditas ekspor di sini (minyak kelapa). Secara volume sih sama, tapi secara harga yang jatuh, sehingga cukup berpengaruh. Maka, diversifikasi komoditas ekspor harus terus didorong agar apabila hal seperti ini terjadi dapat tertopang oleh komoditas yang lainnya," ujarnya.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk., David Sumual menambahkan bahwa persoalan kalsik yang sering terjadi dibanya daerah memang rendahnya serapan anggaran pada semester dua, dan baru akan mulai meningkat pada semester tiga dan empat.
"Dibanyak daerah serapan anggaran memang di triwulan ketiga. Ini juga berkaitan dengan perencanaan yang ada di daerah tersebut. Sebaiknya memang harus dipikirkan sejak tahun sebelumnya secara dini," ujarnya.
Selain itu, pihaknya berharap untuk ke depan dorongan dari swasta haru lebih percaya diri untuk ekspansi karena ke depan peran dari pemerintah sedikit berkurang.
"Kalau dilihat dari defisit anggaran dari tahun ini sebesar 2,67% menjadi 2,19% pada 2018, artinya dorongan dari sisi fiskal berkurang sehingga dari sisi swasta harus didorong agar lebih percaya diri untuk ekspansi," ujarnya.