Bisnis.com, JAKARTA - Program pemerintah mengintegrasikan barang-barang tol laut melalui jembatan udara dipandang tidak akan efektif menurunkan biaya logistik.
Panky Tri Febiansyah, Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai program jembatan udara yang direncanakan pemerintah tidak akan memberikam dampak signifikan dalam menekan disparitas harga.
"Jembatan udara minimal butuh pesawat. Pesawat butuh bandara, sekarang yang sudah ada kapal kecil. Kenapa kapal kecil dan sudah ada duitnya dana desa, mengapa tidak itu yang didorong koordinasi antar desa membangun jalan?" ungkap Panky kepada Bisnis di LIPI, Jumat (25/8/2017).
Dia mencontohkan di Maluku, sudah ada kapal untuk angkutan barang dari pelayaran rakyat. Kalau pemerintah mau menggunakan dan mengonsolidasikannya maka harga akan relatif lebih murah ketimbang menggunakan jembatan udara.
"Tapi kalau udara ada batasan tonade, tapi kalau kapal berapapun bisa. Kalau udara terbatas tonasenya," kata Panky.
Nilai efektifitas tol lau menurut Panky bisa ditelisik dari harga barang yang masih tinggi. Dia berharap adanya kontainer dan kapal khusus untuk program ini agar biaya diturunkan semakin bertambah.
"Kita harus ingat, kita ini negara kepulauan, dimana pulaunya banyak. Pertanyaannya, menjaga disparitas itu seperti apa kalau tidak ada background penyambungnya?" Meskipun begitu Panky optimistis sebelum 2019 pemerintah bisa mencapai target penurunan biaya logistik.
Sebelumnya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan program jembatan udara sudah mulai diaplikasikan per Agustus 2017. Adapun lokasi tujuan adalah beberapa daerah pedalaman di Indonesia bagian Timur.
"Tol udara sudah mulai bulan ini. Exercise paling gampang di Timika, disana banyak barang datang dari Pelabuhan Timika akan disebarkan ke beberapa tempat," papar Menhub.