Bisnis.com, MAKASSAR - Ekonom Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Marsuki mengungkapkan anomali ekonomi di daerah, utamanya di Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Bukan hanya dari sektor konsumsi, namun juga akan terjadi pada sektor riil, investasi dan keuangan.
Daya beli masyarakat saat ini makin rendah akibat PHK yang semakin banyak, harga-harga relatif rendah tapi bersifat semu karena faktanya di pasar, tren harga tidak sesuai laporan statistik yang dipublikasi. Apalagi makin terasa saat masuk momen Lebaran tahun ini.
Dunia usaha pun tertekan dengan beban pajak dan beban lainnya yang semakin berat, serta semakin pudarnya tingkat kepercayaan dan keyakinan masyarakat tentang tren kebijakan Pemerintah Indonesia yang belum memihak pada kepentingan publik.
Kondisi ini bisa membuat tren perekonomian daerah maupun nasional pada kuartal pertama tahun ini diproyeksi akan menurun.
"Dampak anomali ini terhadap tren perekonomian global, regional, nasional maupun daerah pada kuartal I/2025 bisa dikatakan semuanya akan terkontraksi menurun, tidak akan sesuai dengan yang diperkirakan para pihak optimis," ungkapnya kepada Bisnis, Minggu (6/4/2025).
Baca Juga
Marsuki menerangkan, anomali dipicu oleh kondisi perekonomian global. Di mana diketahui tren perkembangan perekonomian daerah sangat dipengaruhi oleh perekonomian nasional, sedangkan perekonomian nasional dipengaruhi oleh perekonomian global.
Saat ini seluruh tren perekonomian sedang mengalami masalah. Diawali oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS)Donald Trump yang menempuh kebijakan America First, karena menganggap selama ini banyak persoalan perekonomian negaranya timbul akibat kebijakan longgar dan menguntungkan negara-negara mitra dagang, bisnis, dan keuangan AS.
Masalahnya, tren kebijakan yang ditempuh tersebut seakan ingin melawan kekuatan pasar regional, nasional, bahkan global, yang mana sebenarnya sistem pasar sebelumnya merupakan doktrin sistem ekonomi yang dibangun sendiri oleh AS.
"Rupanya, kebijakan sebelumnya dianggap merugikan kepentingan mereka, sehingga harus menempuh kebijakan yang anomali dengan paradigma yang dibangun dan dikembangkannya sendiri. Dengan harapan akan memberi dampak positif ke depannya," paparnya.
Tentu saja pasar bereaksi. Mereka melakukan perlawanan mengikuti pola yang diterapkan AS sendiri, sehingga diperkirakan akan berdampak negatif bagi negara tersebut.
Konsumsi AS diperkirakan akan terus terkontraksi, karena masyarakat akan mengurangi belanja dari barang/jasa yang diimpor, sektor produksi utama dan sekunder dengan mitra-mitra investor asing akan berkurang, PHK AS akan meningkat, dan bisa menimbulkan gejolak sosial dalam negeri AS sendiri.
"Hal ini terjadi karena shock rantai pasok barang/jasa lintas negara mengalami kontraksi. AS justru semakin terjebak dalam anomali kebijakannya sendiri," tambahnya.
Dampaknya bagi Indonesia, ditambahkan Marsuki, umunya akan dirasakan oleh para pelaku ekonomi. Konsumsi akan terkoreksi, termasuk sektor produksi.
Apalagi berbagai kegiatan dan suntikan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia tampaknya belum dapat diperkirakan dampak positifnya secara langsung. Karena itu para pelaku ekonomi akan makin berhati hati mengambil keputusan.
Ditambah lagi semakin terbukanya banyak praktik korupsi dari lembaga-lembaga pemerintahan dan badan usaha pemerintah, yang belum jelas ke mana arah penyelesaiannya dan apa dampak yang bisa bermanfaat bagi masyarakat kebanyakan nantinya.
Belum lagi adanya pendirian lembaga pengelola aset keuangan yang gigantis, yang belum jelas apakah lembaga tersebut akan bermanfaat untuk kepentingan negara dan rakyat kebanyakan. Sebab keberadaannya yang secara tiba-tiba dan tanpa ada kajian atau informasi sebelumnya.
Oleh sebab itu, Marsuki menyimpulkan, secara keseluruhan, pola anomali tersebut bisa terjadi akibat keadaan, kebijakan dan perilaku politik para penguasa ditingkat global, regional, dan nasional, yang tidak sesuai dangan harapan pasar.
"Akibatnya bagi daerah, seperti Sulsel misalnya, anomali dalam kasus di sektor riil, konsumsi, investasi dan keuangan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak," tutupnya.