Bisnis.com, MAKASSAR - Bank Indonesia mewaspadai adanya potensi gejolak ke perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) apabila skenario terburuk dari konflik di Timur Tengah, seperti Selat Hormuz benar-benar ditutup oleh Iran.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulsel Wahyu Purnama mengatakan apabila Selat Hormuz benar-benar ditutup maka dampamkanya akan terasa di semua sektor, bahkan bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi wilayah Sulsel. Dia menyebut penutupan Selat Hormuz akan mengganggu suplai minyak ke Indonesia, yang memberi pengaruh hingga ke semua daerah.
"Kalau harga minyak terganggu, semuanya akan terganggu, semua yang diangkut akan berpengaruh. Harga minyak naik artinya biaya transportasi jadi naik, ini bisa membebani perekonomian kita," jelas Wahyu kepada Bisnis, dikutip Senin (30/6/2025).
Perlambatan ekonomi pun berpotensi akan terjadi apabila harga terus bergejolak akibat mahalnya minyak. Jika inflasi jadi tinggi, dunia usaha akan terganggu, utamanya pangan. Hal ini akan memberi pengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi Sulsel.
Oleh sebab itu, dikatakan Wahyu, Provinsi Sulsel perlu memperkuat lima sektor utama dalam upaya mengimbangi potensi buruk yang bisa saja terjadi. Lima sektor tersebut adalah industri pengolahan, pertanian, pertambangan, perdagangan, dan konstruksi.
Pertanian menjadi sektor yang paling utama, khususnya pada pengembangan di sisi hulu dan hilir. Saat ini pangsa sektor pertanian bagi perekonomian Sulsel mencapai 21% atau menjadi penyumbang mayoritas. Program-program unggulan seperti mandiri benih perlu ditingkatkan untuk menjaga produksi dan pasokan pangan di daerah.
Perlu juga dikembangkan program irigasi dan pompanisasi di tiap daerah karena sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas.
"Ke depan sektor pertanian juga perlu didukung oleh hilirisasi. Rumput laut contohnya, mesti ada produk turunan. Begitu pun dengan bawang dan cabai. Inilah nantinya ang memberikan nilai tambah untuk pertumbuhan ekonomi Sulsel," tutur Wahyu.