Bisnis.com, MAKASSAR - Revitalisasi moda transportasi Sulawesi Selatan (Sulsel) seiring bakal hadirnya Kereta Api (KA) Sulsel, MRT Mamminasata, dan bus listrik mini Makassar dinilai sangat baik oleh para pengamat.
Baca Juga
Jika ketiganya mampu diintegrasikan maksimal, maka akan mampu mengurai kemacetan hingga menumbuhkan ekonomi wilayah ini. Namun tetap ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan pemerintah sebelum ketiganya benar-benar dioperasikan.
Ekonom Prof Hamid Paddu menjelaskan, infrastruktur transportasi mempunyai dampak secara langsung terhadap mobilitas pergerakan manusia jika dikembangkan. Moblitas ini akan menjadi dasar aktivitas ekonomi yang berkembang lebih lancar.
Dari sisi produksi, penambahan infrastruktur seperti kereta, MRT, dan bus listrik akan mempengaruhi di dua sisi, yaitu mobilitas penduduk yang mempercepat arus produksi dan memperlancar pergerakan konsumen. Sehingga dampaknya adalah mempercepat ekonomi.
"Selama ini dengan transportasi yang ada permintaan yang terjadi hanya dua kali dalam sehari. Masyarakat hanya bisa berpindah sebanyak dua kali dalam bertransaksi atau membeli barang. Dengan moda yang lebih bagus itu bisa dua kali lipat, jadi dari sisi permintaan dan ekonomi akan berdampak," jelasnya kepada Bisnis, Minggu (9/10/2022).
Namun dia sedikit menyorot soal biaya pembangunan MRT yang dirasa akan sangat mahal. Pemerintah baginya harus mempertimbangkan apakah infrastruktur ini sejalan dengan kondisi jumlah manusia yang bergerak di Sulsel dengan kebutuhan pembiayaan MRT.
Jika melihat kota-kota di Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk sangat banyak, maka MRT menjadi transportasi yang begitu dibutuhkan. Namun Sulsel memiliki penduduk yang jauh lebih sedikit, makanya perlu ada kajian mendalam soal biaya produksi dan dampaknya setelah dijalankan.
"Contoh jalan tol di Sulsel itu kan belum kembali biayanya ya dengan jumlah kendaraan. Beda dengan kota-kota yang padat penduduk seperti Jawa, jumlah manusianya itu kan besar sekali, jadi dengan menyiapkan infrastruktur yang massal seperti MRT pasti mencukupi," jelas dosen Universitas Hasanuddin ini.
"Kalau kereta api mungkin bisa karena biayanya dengan jumlah penduduk Sulsel masih bisa tercover. Kalau MRT itu relatif sangat mahal pembuatannya dan biaya untuk operasionalnya nanti juga cukup tinggi. Apakah itu sudah sesuai dengan pendapatan masyarakat, jadi masih memerlukan kajian," tambahnya.
Lain halnya dengan bus listrik mini yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota Makassar. Baginya transportasi tersebut telah sesuai karena angkutannya kecil yang jumlahnya tidak massal. Jadi bus listrik cocok untuk menambah pergerakan arus di dalam kota.
"Kalau bus listrik oke, itu sudah saatnya memang karena kan angkutannya kecil yang jumlahnya tidak massal, tidak seperti MRT. Itu bisa menjadi lebih positif, karena menggunakan kendaraan pribadi kan sudah sangat mahal akibat BBM, apalagi ini listrik, diharapkan bisa menjadi lebih murah," paparnya.
Sementara Pemerhati Tata Kota, Jaringan Jalan dan Transportasi Lambang Basri Said menilai penerapan moda transportasi modern ini harus melalui koordinasi yang baik dari setiap lembaga. Paling tidak antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus sepakat mengenai titik-titik jangkauan wilayah.
Ketiganya tidak boleh melupakan integrasi ke transportasi publik lainnya yang telah ada seperti Teman Bus dan Pete-pete. Karena semuanya harus saling melengkapi.
Jika tidak ada tumpang tindih di antara semua transportasi itu, maka masyarakat bisa menjangkau lebih banyak titik tujuan menggunakan transportasi publik, sehingga diharapkan penggunaan kendaraan pribadi bisa dikurangi dan mampu mengurai kemacetan.
"Keragaman ketersediaan angkutan umum di satu sisi berpotensi untuk menjangkau seluruh titik wilayah termasuk kawasan wisata. Intinya itu akan memperbaiki sistem angkutan umum, bagaimana melayani masyarakat ke titik yang lebih luas," kata Lambang.
Melihat dari gaya pembangunannya, MRT menjadi transportasi publik yang akan cukup berat jika dibangun at grade atau menyentuh tanah karena berpotensi mengenyampingkan lintasan kendaraan yang lain. Lahan di Makassar, terutama, tidak cukup lebar untuk menampung MRT sekaligus kendaraan pribadi di jalanan, apalagi KA Sulsel juga akan dibangun at grade.
Makanya pembangunan secara elevated atau melayang bisa menjadi solusi. Atau bisa saja dibangun secara memadukan antara melayang dan menyentuh tanah jika diperlukan.
Solusi lain adalah pembangunan secara underground. Melihat teknologi yang ada saat ini, Lambang merasa tidak ada masalah pembangunan lintasan dilakukan secara underground. Bahkan model pembangunan ini memberi dampak lebih besar, yaitu bisa sekaligus mengatasi banjir.
"Kalau di Kuala Lumpur bahkan skenario dalam mengatasi banjir, jadi ada tiga tingkat. Tingkat atas untuk lalu lintas, bawah untuk saluran air, tingkat tengah untuk lalu lintas juga kalau lalu lintas yg diperlukan. Tapi kalau terjadi banjir maka tingkat tengah bisa dibuka untuk saluran air," jelas dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini.
Metode seperti itu memang memiliki risiko kerusakan beberapa sauran lain seperti jaringan lampu dan sebagainya, namun potensi kerusakannya hanya tiga persen dibanding kerusakan saluran jika banjir terjadi di permukaan.