Bisnis.com, MAKASSAR - Upaya pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif atau parekraf di Kota Makassar menjaga konsistensi usaha seakan menghadapi jalan terjal yang kian menyulitkan.
Minimnya dukungan aktif dari Pemerintah Kota Makassar, dinilai menjadi salah satu aspek pencipta terjalnya jalan pelaku industri parekraf untuk pulih serta menjaga konsistensi aktivitas ekonomi di masa pandemi ini.
Kondisi tersebut terindikasi dari gelombang gerakan demonstrasi yang dilakukan sejumlah unsur pelaku industri parekraf di Kota Makassar dalam kurun waktu sepekan terakhir, sekaligus menjadi titik puncak dari keresahan pelaku usaha akan seretnya dukungan pemerintah kota pada sisi pemulihan kinerja industri.
Jika sebelumnya gerakan dilakukan oleh pelaku usaha dari sektor restoran dan perhotelan yang terhimpun dalam PHRI Sulsel pada Rabu (3/2/2021), kali ini gerakan serupa dilakukan oleh pelaku usaha penyedia hiburan di Kota Makassar, Rabu (10/2/2021).
Adapun kedua segmen usaha tersebut memiliki orientasi yang serupa dalam gerakan protes terhadap Pemkot Makassar, yakni perihal kepedulian otoritas setempat terhadap keberlangsungan industri parekraf yang terpukul telak oleh pandemi.
Pada gerakan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, mengarahkan gerakan protes terhadap kinerja Pemkot Makassar yang cenderung lamban dalam memproses pencairan dana hibah Kemenpar untuk pelaku industri parekraf yang terdampak pandemi Covid-19.
Baca Juga
Imbasnya, pelaku usaha terancam gigit jari atau gagal mendapatkan stimulus Kemenpar berubah dana hibah yang memungkinkan dimanfaatkan guna menjaga keberlangsungan usaha di tengah pandemi.
Sedangkan, pelaku usaha hiburan yang tergabung dalam Asosiasi Usaha Hiburan Makassar atau AUHM memfokuskan aksi pada aturan Pemberlakukan Kegiatan Masyarakat (PKM) yang dinilai diskriminatif terhadap usaha hiburan.
Ketua AUHM Zulkarnain Ali Naru menjelaskan terdapat ada tiga poin utama yang diusung dan diharapkan agar mendapat akomodasi dari Pemkot Makassar, terkhusus pada sisi pembatasan hingga penerapan protokel kesehatan dengan ketat.
Menurut dia, aturan PKM tidak semestinya diberlakukan karena penuh dengan praktik diskriminasi terhadap segmen usaha penyedia hiburan maupun sektor parekraf secara umum.
Penerapan PKM yang juga membatasi jam operasional secara siginifikan dinilai memberikan dampak ekonomi yang sangat kentara, terutama pada sisi keberlangsungan pelaku usaha hingga kehidupan para pekerja penyedia hiburan di Makassar.
Kendati begitu, Zulkarnain menegaskan bahwa penolakan terhadap aturan PKM bukan berarti pihaknya tidak mendukung upaya pemerintah dalam menekan potensi rantai penyebaran Covid-19 yang menjadi alasan Pemkot Makassar dalam menerbitkan aturan pembatasan tersebut.
Menurutnya, penghapusan PKM bisa dikompensasi melalui penegakan secara ketat dan tegas Perwali 51/2020 tentang Penerapan Disiplin Penegakan Hukum Protokol Kesehatan serta Perwali Nomor 53/2020 tentang pedoman Penetapan Protokol Kesehatan pada Pelaksanaan Kegiatan Pernikahan, Resepsi dan Pertemuan.
Pada titik tersebut, lanjut dia, pelaku usaha yang tergabung dalam AUHM berkomitmen menjalankan segala aturan yang termaktub dalam Perwali 51 dan 53, sembari menyatakan kesiapan menerima konsekuensi hukum jika ditemukan pelanggaran protokol kesehatan.
"Kami siap jika setiap aktivitas usaha kami mendapat pengawasan ketat dari Satgas Covid-19, dan kemudian jika di tempat usaha terjadi pelanggaran mulai dari kapasitas pengunjung yang melebihi batasan toleransi atau hal lainnya, maka kami siap ditindak hingga operasional ditutup permanen," tegas Zulkarnain.
Sebagaimana diketahui, Pemkot Makassar sebelumnya menerapkan aturan pembatasan kegiatan masyarakat berupa aturan jam malam yang diberlakukan mulai 24 Desember 2020. Seiring dengan berjalannya waktu, aturan tersebut direvisi dan menjadi PKM dengan durasi pemberlakukan 14 hari dengan opsi perpanjangan.
Paling anyar, PKM diputuskan diperpanjang sampai 23 Februari 2021 mendatang atau dengan kata lain durasi penerapan telah berjalan dua bulan sejak diberlakukan akhir 2020 silam.
Secara luas, aturan tersebut diakui memberikan dampak terhadap aktivitas ekonomi pada aktivitas parekraf lantaran segmen tersebut paling banyak merasakan dampak seperti restoran, hiburan, rumah makan, cafe, perhotalan sampai pelaku UMKM dengan orientasi ekonomi kreatif yang beroperasi saat malam.
Keluhan pelaku usaha terhadap adanya PKM dari Pemkot Makassarm sebelumnya juga telah disuarakan oleh PHRI Sulsel yang merasakan dampak besar penerapan hal tersebut sehingga memperkeruh konsistensi industri parekraf di Kota Makassar.
Hal tersebut kemudian diperparah oleh langkah lamban Pemkot Makassar yang dikomandoi oleh Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar Rudy Djamaluddin yang terkesan acuh terhadap keberlangsung parekraf Makassar.
Itu terlihat dari gagalnya pelaku industri parekraf mendapatkan stimulus berupa dana hibah dari Kemenpar yang sejatinya mampu menjadi tumpuan dalam menekan himpitan dampak pandemi.
Ketua PHRI Sulsel Anggiat Sinaga mengatakan bahwa dari 101 daerah, hanya Makassar yang terhambat menyalurkan dana stimulus untuk menekan dampak Covid-19 khususnya pada sektor pariwisata tersebut.
Berdasarkan catatan PHRI, sekitar 80 hotel dan restoran yang telah diverifikasi memenuhi syarat untuk mendapatkan penyaluran dana tahap pertama senilai Rp24 miliar, atau separuh dari total Rp48 miliar dana hibah yang akan disalurkan.
Namun mencapai batas waktu yang ditentukan yaitu Desember 2020, dana tersebut tidak kunjung cair hingga harus dikembalikan ke Kemenparekraf.
Menurut Anggiat, seharusnya dana tersebut menjadi penambah daya bagi hotel-hotel dan restoran untuk bangkit dari keterpurukan akibat wabah.
Dia merincikan, total pajak dalam setahun yang dibayarkan hotel dan restoran selama pandemi 2020 sebesar Rp180 miliar. Padahal sebelum pandemi merebak, totalnya mencapai Rp330 miliar.
Serangkaian hal tersebut akhirnya membuat pelaku usaha melakukan gerakan fisik dan protes berupa aksi unjuk rasa terhadap Pemkot Makassar, namun tidak membuahkan hasil signfikan akan kepedulian pemerintah kota terhadap konsistensi pelaku industri parekraf di Kota Makassar.