Bisnis.com, MAKASSAR - Perkebunan Nusantara (PTPN) dituding menyerobot lahan masyarakat adat di Desa pamona dan Desa Panca Karsa Kecamatan mangkutana Luwu Timur Sulsel.
Konflik agraria ini bukan kasus baru, namun bermula pada tahun 1986. PTPN awalnya mengklaim 814 hektare lahan dari total 938,77 hektare lahan setempat.
Ketua Tokoh Masyarakat Adat Pamona, Evi, mengatakan, PTPN XIV kala itu berjanji akan memberi kompensasi kepada masyarakat atas ganti rugi lahan tetapi hal tersebut tidak terwujud sampai saat ini.
Kendati tidak terjadi kesepakatan saaat itu, pada tahun 1987 PTPN tetap menanam kelapa sawit pada 514 hektare lahan, sementara sisa lahan sekitar 300 hektare digarap warga untuk bertani.
Tetapi, pada Mei 2020 PTPN XIV kembali memperluas lahan kebun kelapa sawit bahkan menyerobot 300 hektar yang sebelumnya dikelola masyarakat.
Evi menyebut bahwa pada lahan 300 hektare yang tersisa, masyarakat menanam berbagai jenis rempah-rempah. Hanya saja, sebelum masyarakat sempat memanen, PTPN merusak tanaman dengan menggunakan empat alat berat excavator bahkan dikawal kepolisian.
Baca Juga
Alhasil masyarakat mengalami kerugian materi karena tak bisa menikmati hasil dari pertaniannya.
“Keluarga dan masyarakat di sana hanya bergantung pada pertanian. Sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka banyak beralih menjadi buruh cuci dan lain-lain. Sementara pihak PTPN XIV tidak pernah ada itikad unutk menyelesaikan konflik ini dengan baik," ujar Evi, Senin (23/11/2020).
Korban lain dari Desa Panca Karsa, Tedie, menambahkan telah mengadu ke DPRD dan Bupati Luwu Timur namun tidak mendapatkan respon yang positif.
“Saya masih ingat kemiri dan kakao yang ditanam Kaka saya dihancurkan pakai alat berat pada Mei 2020 lalu. Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kami juga tidak pernah membebani negara untuk memberi makan tapi kenapa kami diperlakukan tidak adil," papar Tedie.
Sementara itu Manajer PTPN VIX, Andi Evan yang dikonfirmasi Bisnis secara terpisah belum mau mengomentari terkait hal tersebut.
Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Amin menegaskan pihaknya menuntut kepada PTPN XIV menghentikan praktik perampasan lahan di sana. Sebab hal tersebut telah masuk ke pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Apalagi, dalam surat yang disampaikan kepada warga terkait surat raplanting seharusnya mengganti tanaman justru memperluas lahan sawit. Disamping itu, PTPN XIV bahkan tidak bersedia mengganti tanaman yang dirusak.
"Sejak kedatangan PTPN dari awal sampai saat ini tidak pernah memberi kontribusi ekonomi. Kemudian sawit merupakan tanaman yang bisa merusak, sehingga tanaman warga yang ada disekitar tidak akan tumbuh subur. Selanjutnya, warga mengalami penderitaan akibat mendapat kriminalisasi dari perusahaan," pungkasnya.