Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perizinan Masih Menjadi Tantangan Industri Perikanan Sulut

Produksi perikanan Sulawesi Utara mulai melaju positif.
Ilustrasi kapal ikan di dermaga.
Ilustrasi kapal ikan di dermaga.

Bisnis.com, MANADO—Produksi perikanan Sulawesi Utara mulai melaju positif berkat adanya ralaksasi kebijakan pada akhir tahun lalu. Namun, permasalah izin usaha para nelayan masih menjadi pengganjal pertumbuhan.

Meski demikian, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah (DKPD) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tetap optimistis dapat mencapai target produksi perikanan tangkap yang pada tahun ini dipatok sebesar 382.150 ton.

Sekretaris DKPD Provinsi Sulut Haidy Malingkas mengatakan, berkaca pada realisasi produksi perikanan Sulut pada tahun lalu yang mencapai 382.005 ton target tersebut sangat mungkin tercapai.

“Kalau sekarang saja sudah dapat 382.005 ton, ini target sesuai dengan RPJMD, artinya tanpa kerja keras pun bisa mencapai target itu. Tetapi memang masih bisa berubah sebenarnya, karena posisi sekarang kan sudah di atas 380.000 ton,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Dia menjelaskan, produksi perikanan Sulut pada 2018 mencapai 870.252 ton, atau 103,2% dari target sebesar 843.020 ton. Kontribusi perikanan tangkap mencapai 382.005 ton, sedangkan perikanan budidaya mencapai 488.247 ton, masing-masing meningkat 6,5% dan 6,25% pada tahun lalu.

Sepanjang 2015—2018, rata-rata laju pertumbuhan produksi perikanan mencapai 4,67% per tahun. Laju pertumbuhan perikanan budidaya mencapai 1,02% pertahun, lebih rendah dari pertumbuhan perikanan tangkap sebesar 10,22%.

Meski terus mengalami pertumbuhan positif, namun dia mengatakan bahwa produksi perikanan tangkap belum mencapai optimal. Pasalnya, dampak kebijakan yang diberlakukan sejak 2015 masih memengaruhi kondisi industri.

Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI 56, 57, dan 58. Regulasi tersebut dinilai sangat memukul kondisi dunia usaha perikanan Sulut dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang hal itu diharapkan dapat memberikan dampak positif.

“Dalam jangka panjang, kami berharap paling tidak pelaku usaha itu melakukan kegiatan usahanya secara legal, kalau kemarin kan banyak ketahuan ilegal. Regulasi menguntungkan nelayan nasional kita, tapi dari sisi pasokan terjadi pengurangan, karena kapasitasnya kan berbeda,” jelasnya.

Meski begitu, regulasi yang berlaku saat ini masih perlu ditinjau kembali, khususnya terkait perizinan untuk para nelayan. Menurutnya, proses perizinan masih memakan cukup memakan waktu, khususnya untuk kapal-kapal dengan ukuran tonase kotor, atau gross tonage (GT) di atas 30 GT.

Dia menjelaskan, Saat ini, DKPD hanya melayani perizinan untuk kapal berukuran di bawah 30 GT. Adapun, perizinan kapal berukuran 30 GT—60 GT harus mengikuti prosedur di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta melalui sistem Online Single Submission (OSS).

 “Perizinan itu di KKP, kami juga sekarang semua masih semacam bertanya-tanya, kenapa dia kemarin sudah di OSS, tapi ditarik ulang lagi ke KKP. Masih ada yang perlu kita bicarakan bersama, di mana sebetulnya benang kusutnya sehingga lama urus izinnya,” katanya.

Namun demikian, masalah tersebut dapat teratasi dengan kebijakan pemerintah daerah yang mengeluarkan Surat Keterangan Sementara (suket) untuk kapal-kapal tersebut. Suket tersebut berlaku selama 60 hari, dengan catatan kapal sudah memiliki nomor induk berusaha (NIB).

Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Nelayan Pajeko Sulawesi Utara Lucky Sariowan mengatakan bahwa lamanya proses pengajuan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) membuat para nelayan beralih kepada kapal dengan ukuran GT lebih kecil.

“Sekarang banyak [nelayan] yang beralih, kapal yang paling banyak beroperasi sekarang justru yang 30 GT ke bawah karena izinnya lebih gampang, tidak ribet,” ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Menurutnya, tren nelayan yang lebih banyak menggunakan kapal dengan ukuran tonase kotor kecil membuat hasil produksi belum optimal. Keterbatasan kemampuan kapal serta faktor cuaca membuat hasil tangkapan terbatas.

“Paling maksimal kapal kecil itu 10 ton per minggu, bak dia kan terbatas, kalau 30 GT ke atas dia kan bisa lebih. Jarak penangkapan ikan makin jauh, sekarang di atas 2 mil. Apalagi mau pakai 30 GT ke bawah, tinggi gelombangnya sekarang 3—5 meter,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dari 30 kapal berukuran di atas 30 GT di Manado, hanya tinggal dua kapal yang izinnya belum rampung. Dua kapal tersebut, lanjutnya, sudah lebih dari 7 bulan mengurus perizinan dan masih mengandalkan suket untuk menangkap ikan.

Lucky menambahkan, jumlah kapal penangkap ikan Manado mencapai sekitar 220—250 kapal. Mayoritas kapal berukuran di bawah 30 GT, sedangkan ukuran kapal terbesar adalah 90 GT. Secara umum, lanjutnya, masih ada sekitar 20% kapal penangkap ikan yang belum memperoleh SIPI.

Menurutnya, kebijakan kementrian yang mengambil alih perizinan untuk kapal di atas 30 GT dari kewenangan provinsi cukup memberatkan nelayan. Dia mengharapkan, proses perizinan tersebut dapat dikembalikan kepada pemerintah daerah.

“Seharusnya Kementrian itu kembalikan izin perpanjangan di daerah itu, bukan berarti perpanjangan di daerah akan bermain negatif, kalau tidak percaya simpan orang untuk mengawasi, karena kalau seperti itu tidak efektif kalau menurut saya,” ujarnya.

Di sisi lain, dia menjelaskan lamanya proses perizinan para nelayan kemungkinan besar disebabkan oleh masalah ketidaksesuaian Laporan Kegiatan Usaha (LKU) dan Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP) yang dilakukan para nelayan.

Lucky menuturkan, minimnya sosialisasi membuat tak banyak nelayan yang mematuhi kewajiban pelaporan tersebut. Namun demikian, menurutnya kasus tersebut sudah lama terselesaikan dengan adanya instruksi KKP untuk melakukan pengukuran dan verfikasi ulang kapal-kapal nelayan.

“Kami tidak pernah mendapatkan sosialisasi, makanya setahu saya di bawah 2014, seluruh kapal-kapal itu memang tidak pernah membuat laporan pendapatan ikan, saya mengerti kenapa LKU dan LKP-nya dikejar, karena memang ada hubungan dengan perpajakan,” jelasnya.

Dia tidak menampik bahwa memang saat ini sekitar 80% kapal telah mendapatkan izin dari KKP untuk melaut dan menangkap ikan. Namun demikian, dia tetap menyayangkan lamanya proses perizinan yang bisa mencapai berbulan-bulan.

“Memang betul 80% kapal yang tertunda izinnya itu sudah dikeluarkan SIPI-nya, tapi kalau mau dihitung itu ada yang sudah setahun baru keluar perpanjangan SIPI-nya. Ini kan menurut saya luar biasa,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler