Bisnis.com, MANADO—Ketua Asosiasi Petani Kelapa (Apeksu) Sulawesi Utara George Umpel meminta pemerintah untuk mendirikan pusat pengolahan kelapa terpadu. Menurutnya, hal itu akan meningkatkan permintaan dan nilai ekonomi dari komoditas tersebut.
“Jadi sebenarnya untuk menciptakan kesempatan kerja, kita tidak kekurangan bahan baku, jadi yang menjadi masalah sekarang mampukah pemerintah memengaruhi investor untuk mendirikan pabrik kelapa terpadu di Sulut,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (12/3/2019).
Menurutnya, masih banyak ekses dari produk kelapa yang bisa dimanfatkan untuk industri pengolahan lain. Dia mencontohkan air kelapa yang dapat diolah menjadi komoditas seperti nata de coco, ataupun cuka kelapa organik.
Dia menjelaskan, pemerintah memang telah memberikan sejumlah bantuan mesin produksi pengolahan minyak kelapa kepada Industri Kecil Menengah (IKM). Namun, dia menilai mesin bantuan tersebut masih terlalu sederhana untuk mendorong industri pengolahan kelapa.
Hal itu membuat para petani masih lebih banyak bergantung pada permintaan pengolahan tepung kelapa yang cukup besar di Sulut, khususnya di Minahasa Selatan. Akan tetapi, pengolahan tepung kelapa masih menyisakan limbah yang tidak termanfaatkan dengan baik.
“Untung ada pabrik tepung kelapa yang besar-besar, tapi kalau bikin tepung airnya kan dibuang, jadi limbah kan berbahaya, tapi kalau ada pabrik nata de coco, pabrik kecap, pabrik apa, saya kira itu bisa jadi bahan baku yang punya nilai ekonomi,” jelasnya.
Baca Juga
Selain itu, menurutnya pemerintah juga dapat memberikan bantuan untuk meningkatkan mutu kopra di Sulut dengan membangun tungku kopra putih. Menurutnya, kopra hitam yang selama ini dihasilkan memiliki daya tawar yang rendah di pasar ekspor karena persoalan mutu.
“Saya selaku Apeksu, tahun 2000 sudah teriak, pemerintah tolonglah bikin bantu tungku untuk kopra putih, meningkatkan mutu kopra yang baik, banyak yang akan minta, India, srilanka itu butuh, dan harganya bisa naik dua kali lipat,” ujarnya.
Menurutnya, pengolahan kelapa yang lebih terpadu dan modern akan memperluas lapangan kerja dan mendorong permintaan kelapa di Sulut. George mengatakan, hal itu dapat membantu harga kelapa kembali terkerek ke posisi normalnya.
Sejak akhir tahun lalu, lanjutnya, harga kelapa masih belum kembali ke kisaran Rp12.000 per kilogram dan masih terpuruk di kisaran Rp4.900 kilogram per kilogram. Petani, lanjutnya, kini kesulitan mencari buruh untuk memetik kelapa dengan harga jual rendah tersebut.
“Karena harga sudah turun begitu, masalah yang dihadapi petani itu pekerjanya, buruh juga susah dapat karena upahnya jadi kecil. kami kan bagi hasil dengan buruh,” ucapnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara Jenny Karouw mengatakan bahwa sepanjang Januari, volume ekspor mengalami peningkatan sebesar 14%. Namun demikian, nilai ekspor mengalami penurunan karena penurunan harga di tingkat global.
“Biaya masuk memengaruhi nilai dari pendapatan yang diterima. Dia kalau tidak salah meningkat sampai dengan 14%. Volumenya meningkat 14%, tapi nilainya rendah. Karena harganya yang turun,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (11/3/2019).
Dia juga mengatakan penurunan permintaan dari Belanda turut memengaruhi kinerja ekspor Sulawesi Utara. Adanya komoditas substitusi di Eropa untuk menggantikan minyak kelapa membuat permintaan ekspor menurun.
“Tapi kalau secara keseluruhan, produksi kita masih terserap oleh ekspor,” katanya.
Dia mengatakan, pemerintah tengah mengupayakan ekspor produk kelapa dan turunannya ke negara tujuan alternatif sepeti negara-negara Afrika dan Amerika Selatan. Menurutnya kawasan tersebut merupakan pasar potensial yang belum tergarap secara maksimal selama ini.
Adapun, sepanjang 2018 total volume ekspor Sulut mencapai 210.349,84 ton dengan minyak kelapa kasar, tepung kelapa, dan bungkil kelapa sebagai komoditas terbesar. Sementara itu, nilai ekspor mencapai US$182,15 juta.