Bisnis.com, MAKASSAR - Aktivitas bongkar muat di wilayah timur Indonesia tampak kurang bergairah pada semester I/2025.
Arus barang non peti kemas yang melewati pelabuhan area Pelindo Regional 4, yang meliputi sebagian Kalimantan hingga Papua, mengalami kontraksi 5% secara year-on-year (yoy) atau hanya terealisasi 35,63 juta ton.
Begitu pun dengan arus peti kemas yang hanya tumbuh tipis 2% yoy atau terealisasi 1,20 juta Twenty-foot Equivalent Unit (TEUs).
Penurunan capaian arus barang non peti kemas terjadi akibat berkurangnya kegiatan bongkar muat komoditas curah kering di Parepare dan cargo di Makassar. Bahkan secara umum, arus di Pelabuhan Parepare anjlok hingga 27,07% yoy atau hanya terealisasi 404.227 ton.
Sementara itu meskipun sebagian pelabuhan di wilayah timur menunjukkan pertumbuhan arus peti kemas, namun kondisinya cukup tertekan dengan penurunan kinerja pada beberapa pelabuhan lain.
Contohnya di Jayapura dengan catatan arus peti kemas sebesar 40.759 TEUs namun turun 9,09%, Tarakan terealisasi 40.090 TEUs atau turun 4,26%, dan Biak sebesar 6.552 TEUs atau turun 1,99%.
Baca Juga
Ekonom Universitas Hasanuddin (Unhas) A. Nur Bau Massepe mengatakan kelesuan aktivitas bongkar muat wilayah timur dipengaruhi oleh menurunnya kinerja bisnis dalam negeri.
Perlambatan ekonomi yang terjadi secara nasional membuat beberapa aktivitas industri, utamanya yang ada di Pulau Jawa mengalami penurunan. Akibatnya arus peti kemas maupun non peti kemas secara tidak langsung terpengaruh.
Penurunan aktivitas industri sangat berkaitan erat dengan situasi dan tantangan global yang terjadi belakangan ini. Salah satunya akibat tarif dagang yang diterapkan Amerika Serikat kepada negara mitra dagang Indonesia.
Kebijakan tersebut dianggap telah mempengaruhi posisi neraca dagang, khususnya dalam hal turunnya kegiatan ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor dari Sulawesi Selatan (Sulsel) saja per semester I/2025 mengalami penurunan hingga 20,19% yoy atau hanya terealisasi US$781,63 juta.
Penyebabnya terjadi penurunan permintaan penjualan global untuk tujuh kelompok komoditas utama, yaitu nikel; besi dan baja; biji-bijian berminyak; kakao; ikan dan udang; lak, getah dan damar; serta daging dan ikan olahan.
"Persoalan ekspor menurun itu bisa dipahami akibat adanya kebijakan tarif Trump. memang Indonesia hanya 19%, tapi ingat pengekspor terbesar kita adalah China. Sementara China kena tarif Trump 50%. Tentu mereka mengerem pembelian barang bahan baku dari negara kita," jelas A. Nur Bau Massepe kepada Bisnis, Senin (18/8/2025).
Dia menambahkan, dari Sulsel sendiri tercatat ada beberapa komoditas yang diekspor ke China. Antara lain nikel, stainless, rumput laut, hingga karagenan.
"Kita tahu bahwa perusahaan China banyak berinvestasi di sektor pertambangan Indonesia. Kemudian mereka mengirimkan bahan baku itu ke Amerika setelah diolah menjadi produk elektronik, sirkuit elektronik. China menurunkan jumlahnya. ini berdampak bagi negara kita sebagai penyuplai bahan baku tersebut," tutupnya.