Bisnis.com, MAKASSAR - Bank Indonesia memperkirakan tekanan inflasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) hingga akhir tahun ini akan terus menurun dan terjaga dalam rentang sasaran 3,0±1% (yoy) pada semester II/2023. Lebih rendah dibandingkan inflasi 2022 yang mencapai 5,77%.
Meskipun begitu, diperkirakan pula masih akan tetap terdapat beberapa tantangan seperti puncak El Nino yang dikhawatirkan menahan produksi dan perdagangan padi serta penggilingan beras.
Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Sulsel Febriani mengungkapkan ada beberapa faktor pendorong inflasi tahun ini selain dampak El Nino, antara lain peningkatan konsumsi temporer pada Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) akhir tahun dan sosialisasi kontestasi Pemilu. Misal pada masa Natal dan Tahun Baru yang biasanya harga pangan akan lebih tinggi.
Selain itu gelombang tinggi yang diperkirakan terjadi di daerah Maluku-Papua bisa menyebabkan peningkatan larangan melaut, sehingga mengurangi pasokan ikan yang didaratkan di Sulsel. Apalagi ikan menjadi salah satu komoditas yang menyumbang andil inflasi cukup tinggi tahun ini.
"Selain itu meningkatnya harga minyak global pasca restriksi ekspor bensin dan solar Rusia diprakirakan berdampak pula pada tarif angkutan udara di tengah tekanan harga avtur," ungkapnya, Jumat (3/10/2023).
Namun selain adanya faktor pendorong, ditambahkan Febriani, kondisi inflasi Sulsel juga akan diimbangi dengan faktor-faktor penahan. Faktor penahan ini bisa meredam gejolak inflasi sehingga kondisinya bisa lebih terjaga.
Baca Juga
Beberapa faktor penahan yang dimaksud seperti adanya impor beras dan peningkatan luas tanam padi di Sulsel untuk memitigasi penurunan produksi padi akibat El Nino. Kondisi ini diperkirakan bisa menahan laju harga beras yang terancam melambung.
"Selanjutnya normalisasi harga bahan baku kedelai impor dan pupuk, sehingga biaya produksi pangan diperkirakan tetap terjaga," paparnya.