Bisnis.com, MAKASSAR - Bank Indonesia tengah menimbang implementasi digital farming atau pertanian digital dalam upaya mendorong produktivitas sektor pertanian di Sulawesi Selatan (Sulsel), baik dari hulu maupun hilir. Penerapannya di wilayah ini dirasa cocok mengingat pendapatan dari sektor pertanian cukup tinggi dengan segala tantangan yang dihadapi saat ini.
Direktur Bank Indonesia (BI) Sulsel M. Firdauz Muttaqin mengatakan pihaknya akan memulai implementasi ini dengan klaster uji coba di satu lokasi yaitu di Pesantren Himmatul Quran, Kabupaten Gowa. Jika berhasil maka penerapan digital farming akan segera diperluas ke lokasi lain.
Implementasi digital farming sendiri diyakini akan memberikan efek positif dengan penggunaan sumber daya yang lebih efisien, pengolahan yang lebih efektif, dan hasilnya yang lebih maksimal. Bahkan BI memprediksi penerapan ini akan bisa menaikkan produksi hingga 53% dari total produksi pertanian Sulsel selama ini.
"Dengan digital farming pertanian Sulsel akan menjadi lebih presisi. Penggunaan sumber dayanya lebih efisien, pengolahannya lebih efektif, hasilnya lebih maksimal. Sehingga produktivitas diproyeksi bisa naik sekitar 53 persen, kalau dibandingkan dengan konvensional," paparnya pada acara Bincang Ekonomi Sulsel 2023 di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Selasa (24/10/2023).
Ekonom Ahli KPwBI Sulsel Febriani menambahkan, tantangan pertanian Sulsel saat ini telah masuk ke beberapa aspek seperti kenaikan harga pupuk dan pestisida, kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan harga energi, serta kondisi iklim.
Dampak El Nino membuat kinerja produksi padi di Sulsel lebih moderat. Bahkan pada Triwulan III/2023, produksi padi wilayah ini hanya sekitar 50 ton, terkontraksi 8,58 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (data TPHBun Sulsel).
Baca Juga
Oleh karena itu pertanian Sulsel, baginya, harus mulai dikelola secara digital agar pengaruh semacam itu tidak memberi efek besar terhadap produksi. Dimulai dari pengelolaan database petani dan database pelaku usaha melalui geo tagging lahan, pola tanam, hingga informasi benih dan agroinput.
Kemudian dari segi pengelolaan, mulai dengan penerapan Internet of Things (IoT) untuk peningkatan efisiensi biaya seperti sensor cuaca atau tanah, teknologi drone, teknologi fertigasi, kamera pengawas, dan aplikasi smartphone.
Pasca panen juga harus menggunakan pencatatan keluar masuk produk, traceability system, smart logistic, hingga kamera pengawas. Begitupun juga dengan pemasarannya yang harus menggunakan platform (marketplace/ecommerce), pemasaran digital komoditas pertanian (B2B, B2C, atau C2C), hingga agregator/hub pemasaran digital.
"Melalui digital farming, para petani nantinya juga akan didorong menggunakan transaksi digital seperti bank transfer, pembayaran digital, uang elektronik, hingga QRIS," paparnya.
Penerapan ini diyakini akan meningkatkan produksi dan meningkatkan kualitas tanaman serta efisiensi biaya produksi pada sisi hulu. Kemudian akan mengurangi kesenjangan harga antara produsen dan harga ritel serta mengurangi asymmetric information dan meningkatkan ketelusuran produk dari sisi hilir.