Bisnis.com, MAKASSAR - Sektor pertambangan memiliki peran penting terhadap struktur perekonomian Sulawesi Selatan. Bahkan, sektor tersebut memiliki efek berganda yang signifikan terhadap perekonomian daerah secara luas di Bumi Celebes. Khusus di Sulawesi Selatan, sektor pertambangan terutama komoditas nikel menjadi penopang utama struktur pembentuk laju pertumbuhan ekonomi, dari sisi ekspor.
Merujuk pada data statistik, nikel menjadi komoditas ekspor yang konsisten menjadi komponen teratas pada struktur kinerja perdagangan luar negeri dari Sulsel, bahkan pada masa pandemi Covid-19. Pada 2020 lalu saat ekonomi secara mutlak luluh lantak terimbas pandemi, komoditas nikel Sulsel tetap perkasa memberikan kontribusi terhadap kinerja ekspor daerah 67,31% atau mencapai Rp10,71 triliun ekuivalen US$764,41 juta (asumsi kurs Rp14.000).
Tren positif berlanjut di 2021 dengan nilai menembus Rp13,97 triliun setara US$998,49 juta dengan porsi mencapai 69,42% terhadap struktur eksportasi Sulawesi Selatan pada tahun fiskal tersebut. Peran besar komoditas nikel itu dipastikan mengalami pertumbuhan pada tahun ini seiring dengan tingginya permintaan nikel dunia dibarengi kenaikan harga di tingkat global.
Hal tersebut sudah bisa terlihat dari data statistik ekspor Sulsel di periode Januari-Juli 2022, di mana nilai eksportasi nikel sudah menyentuh angka Rp9,17 triliun atau US$654,72 juta dengan lompatan 33% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel Suntono bahkan mengatakan posisi nikel sampai pada tahun berjalan ini tetap menjadi kontributor utama terhadap struktur ekspor Sulsel dengan komposisi mencapai 58,73% periode Januari-Juli 2022.
Menariknya, sumber eksportasi komoditas nikel itu seluruhnya dikirim melalui Pelabuhan Malili di Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, ke negara tujuan ekspor. Masih dari data statistik, nilai ekspor yang melalui Pelabuhan Malili pada periode Januari-Juli 2022 ini mencapai Rp9,17 triliun setara dengan US$654,72 juta. Dengan kata lain, komoditas nikel yang menjadi penyangga ekspor Sulawesi Selatan bersumber dari Kabupaten Luwu Timur.
Sebagai informasi, di Luwu Timur merupakan lokasi konsesi Blok Sorowako seluas 70.566 hektare (ha) dengan cadangan terbukti (Proven) sebanyak 96,9 Mt (DKP) dengan grade 1,8 % dan cadangan terkira (Probable) sebanyak 22,3 Mt(DKP) grade 1,73%.
Baca Juga
PERAN PTVI
Adapun pengelola dan pemegang konsesi blok tersebut adalah emiten tambang PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), yang mana merupakan perusahaan multinasional yang berafiliasi dengan BUMN Holding Industri Pertambangan atau Mining Industry Indonesia (MIND ID). Sekadar informasi, Vale Indonesia atau PTVI menambang nikel laterit di Blok Sorowako untuk menghasilkan produk akhir berupa nikel dalam matte. Adapun rerata produksi nikel perseroan mencapai 75.000 metrik ton dengan menggunakan teknologi pirometalurgi (meleburkan bijih nikel laterit).
Selain itu, PTVI tengah melanjutkan pula rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel beserta fasilitas pendukungnya di Sambalagi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dan di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Proyek di Bahodopi direncanakan untuk membangun pabrik pengolahan untuk memproses bijih saprolit dan menghasilkan feronikel yang merupakan bahan utama dalam pembuatan baja nirkarat.
Untuk Pomalaa, proyek yang saat ini dikembangkan adalah untuk memproses bijih nikel limonit dengan menggunakan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) untuk menghasilkan produk yang dapat diolah menjadi bahan utama baterai mobil listrik.
Pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin, Anas Iswanto Anwar mengemukakan kendati secara sektoral, pertambangan di Sulsel memang tidak terlalu signifikan terhadap struktur perekonomian daerah seperti pertanian, tetapi hasil dari sektor tersebut mampu menjadi katalis terhadap performa perkonomian dalam skala makro.
Khusus di Sulsel, lanjutnya, komoditas nikel sebagai turunan dari sektor pertambangan menjadi pengungkit kinerja ekspor daerah yang merupakan salah satu komponen utama dalam mengangkat laju pertumbuhan ekonomi. “Nah ini yang menurut saya cukup menarik di Sulsel, multiplier effect-nya dari ekspor nikel ini belum terasa sangat kentara di Sulsel. Tetapi yang perlu kita pahami, ekspor nikel itu diarahkan ke negara yang memiliki sumber daya untuk industri hilirnya. Nah, kita baru merintis ke arah sana [hilirisasi]. Sehingga kita perlu melihat secara komprehensif,” tuturnya kepada Bisnis, belum lama ini.
EFEK BERGANDA NIKEL
Menurut Anas hilirisasi nikel menjadi sangat strategis, agar kedepannya efek berganda dari komoditas tersebut bisa lebih maksimal sehingga keberadaan perusahaan pertambangan nikel seperti PTVI menjadi katalisator perekonomian daerah yang bersifat inklusif.
Sejauh ini, selain menjadi tulang punggung ekspor Sulawesi Selatan, keberadaan PTVI juga tercatat memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara serta manfaat sosial ekonomi yang bersifat berkelanjutan. Pada 2021 saja, PTVI telah memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara sebesar Rp2 triliun atau US$142,97 juta yang terdiri dari kewajiban perpajakan US$117,78 juta dan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai US$25,19 juta.
Khusus untuk pemerintah daerah, realisasi perpajakan sebesar Rp329 miliar atau US$23,54 juta yang terbagi ke Pemprov Sulsel US$9,98 juta ke Pemprov Sulsel serta US$13,56 juta kepada Pemkab Luwu Timur, lokasi operasional Vale Indonesia. Selebihnya, kewajiban perpajakan dan PNBP oleh PTVI disetor ke negara yang mencakup royalti, PPn, PPh serta sederet komponen pajak maupun PNBP yang selanjutkan dipergunakan negara untuk kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
Kontribusi PTVI terhadap negara dalam tiga tahun terakhir juga terus mencatatkan peningkatan, di mana pada tahun 2019 sebesar US$129,03 juta kemudian naik menjadi US$103,06 juta di 2020 lalu meningkat 30% menjadi US$142,97 juta di 2021. Sebagai informasi, besaran pembayaran pajak maupun PNBP yang disetor oleh PTVI tersebut mengacu pada UU atau beleid yang diterbitkan oleh pemerintah untuk industri pertambangan mineral dan batubara.
Kemudian pada sisi lainnya, PTVI juga pada 2021 merealisasikan serangkaian kinerja keberlanjutan dengan menyeimbangkan keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada 2021, perseroan menerima PROPER hijau dari pemerintah seiring dengan praktik pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan rendah karbon. Kemudian pada bidang sosial sudah menjangkau puluhan ribu penerima manfaat untuk program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Itu dilakukan melalui Program Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat (PPM) bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta pemerintah daerah. Selain itu, ada pula Pengembangan Kawasan Perdesaan Mandiri (PKPM), pembinaan dan penguatan kapasitas lembaga pemerintah di tingkat desa dan kecamatan, pembinaan dan penguatan kapasitas Badan Kerjasama Antar Desa (BAKD), serta pembinaan dan penguatan kapasitas badan usaha milik desa (BUMDes) dan/atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sederet catatan tersebut secara eksplisit mencerminkan besarnya kontribusi komoditas nikel terkhusus PTVI terhadap perekonomian, sosial ekonomi dan lingkungan di Sulawesi Selatan. Itu juga berbanding terbalik dengan klaim Gubernur Sulawesi Selatan Sudirman Sulaiman yang menilai keberadaan PTVI minim berkontribusi terhadap ekonomi dan pembangunan Sulawesi Selatan.
Pada 8 September 2022 lalu, sang Gubernur menyebut kontribusi PTVI terhadap struktur pendapatan asli daerah Sulsel hanya pada angka 1,98% atau Rp197,28 miliar. Padahal jika dirunut lebih jauh, besaran penerimaan yang masuk ke Pemprov Sulsel tersebut sudah sesuai dengan regulasi Pajak, Retribusi dan Hibah Daerah yang ditunaikan PTVI.
SINERGI BENAHI REGULASI
Besaran penerimaan pajak dan retribusi daerah yang diterima oleh Pemprov Sulsel juga menjadi alasan Gubernur Sudirman mengusulkan wacana penghentian perpanjangan izin operasi PTVI di Sulsel serta meminta pengelolaan Blok Sorowako dilimpahkan ke BUMD kelolaan Pemprov Sulsel. Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi Anas Iswanto Anwar menilai lontaran Gubernur Sulsel yang ingin memiliki pengelolaan Blok Sorowako dari PTVI merupakan asumsi yang berlebihan dan cenderung emosional.
“Kalau kita bicara soal pertambangan nikel, itu membutuhkan investasi besar untuk menjalankan industri sebesar ini. Jangan kita kalap dan emosional, padahal tidak siap untuk hal sebesar itu. Yang perlu difokuskan adalah bagaiman pemda ikut mendorong hilirisasi serta pembenahan regulasi yang terkait setoran ke negara. Porsi untuk daerah dan pusat perlu dikeseimbangkan,” papar Anas.
Dia juga meragukan kapasitas sumber daya pemerintah daerah melalui BUMD jika mengelola wilayah pertambangan nikel pada konsesi PTVI, bahkan berpotensi justru membuat potensi-potensi dari nikel ini bisa terdilusi signifikan. “Jangan sampai kita lepas PTVI ini, justru membuat makin tidak jelas soal nikel kita. Itulah saya katakana tadi, perlu dipahami secara menyeluruh, agar manfaatnya bisa merata ke daerah dan negara secara maksimal dan berkelanjutan,” pungkas Anas.
Sementara itu, Presiden Direktur PTVI Febriany Eddy mengatakan secara prinsip pihaknya sebagai perusahaan pertambangan telah menjalankan semua kewajiban yang disyaratkan oleh pemerintah, termasuk pada sisi kontribusi terhadap penerimaan negara maupun pada aspek lingkungans serta tanggung jawab sosial. "Kalau kemudian ada sebutan bahwa kontribusinya minim, dibilang kurang atau lebih itu 'kan relatif ya, Tergantung tolak ukurnya apa. Nah dari kami, sisi pajak maupun PNBP ada peraturannya dan kami selalu ikut ketentuan regulasi yang berlaku," tuturnya.
Febriany lantas menyebut jika akumulasi besaran kontribusi PTVI terhadap penerimaan negara dalam 10 tahun terakhir, bahkan telah menyentuh angka Rp16,6 triliun.
"10 tahun terakhir total pembayaran penerimaan negara dari pajak dan PNBP sekitar Rp16,6 triliun, karena kita patuh pada peraturan undang-undang. Bagaimana kemudian mendistribusikan [Rp16,6 triliun] ini ke pusat, daerah/provinsi, tentu kami ikut ketentuan pemerintah pastinya," tegas dia.
Pada titik tersebut, lanjutnya, PTVI membuka ruang dialog bersama seluruh elemen termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk menemukan solusi dengan mengacu pada regulasi yang berlaku. Pihaknya menegaskan tidak berada pada posisi hendak membela diri, namun berharap agar seluruh pihak bisa menyamakan persepsi dan tolak ukur sehingga tidak ada lagi perdebatan perihal minim maupun lebih dari sisi penerimaan negara. "Jika tolak ukur yang berbeda, mari kita berdiskusi. Kalau ada kurangnya kami, mohon diberi tahu dan mari perbaiki bersama," tutup Febriany Eddy.