Bisnis.com, MAKASSAR - Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, kembali mencatatkan sejarah baru dalam roda pemerintahannya. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, Nurdin kembali mengganti Penjabat Wali Kota Makassar yang diduduki oleh Yusran Yusuf.
Tepat 43 hari pasca dilantik oleh Nurdin pada 13 Mei lalu, Yusran akhirnya dicopot. Bahkan belum cukup dua bulan masa jabatan. Putusan Gubernur Nurdin tentu mengundang perhatian banyak pihak. Apalagi Yusran merupakan orang pilihan Nurdin untuk menduduki jabatan Pj Wali Kota Makassar menggantikan Iqbal Suhaeb.
Sebelumnya, Nurdin menaruh harapan besar pada Yusran untuk bisa mengemban amanah sebagai Pj Wali Kota Makassar, utamanya di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini. Yusran diharap mampu melahirkan ide-ide cemerlang dalam menekan kasus Covid-19 di Makassar yang notabene merupakan episentrum penyebaran virus Corona.
Nurdin Abdullah memutuskan mengganti Yusran dengan Rudy Djamaluddin. Tak jauh berbeda dengan latar belakang Yusran. Rudy merupakan guru besar di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam roda pemerintahan, Rudy juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sulsel.
Nurdin berdalih, keputusan mengganti Pj Wali Kota Makasar semata-mata adalah misi kemanusiaan dalam rangka memutus rantai penularan Covid-19. Ia menyatakan untuk menyelesaikan permasalahan ini dibutuhkan seorang strong leader. Pelantikan penjabat wali kota baru rencananya akan dilakukan Jumat besok.
"Jadi, tidak ada hal yang khsusus dalam pergantian ini. Betul-betul ini mkisi kemanusiaan dan hanya soal pandemi yang penyelesaiannya membutuhkan strong leader," kata Nurdin, Jumat (26/6/2020).
Ia mengaku, keputusan ini sudah dikonsultasikan dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Di mana hasil dari pertemuan tersebut, dibutuhkan kekompakan dan kolaborasi serta pemimpin kuat yang mampu merangkul semua elemen masyarakat dalam menghadapi pandemi ini.
Menanggapi pergantian dirinya, Yusran mengaku tak mempersoalkan keputusan gubernur. Yusran menyatakan selalu siap potensi pergantian jabatan yang dianggapnya hanya sementara. Ia mengaku sejauh ini sudah berupaya menjalankan tugas yang diamanahkan padanya.
"Bagi saya tidak ada masalah karena ini amanah. Kapan saja bisa ditarik. Secara pribadi, beban saya jadi ringan. Saya bisa lebih banyak dengan keluarga. Yang jelas bahwa saya tentu sudah menunjukkan kinerja selama 40 hari," kata Yusran.
Pengamat Politik Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Makassar, Luhur Andi Prianto mengibaratkan yang terjadi di Kota Makassar saat ini seperti sebuah permainan sepak bola. Ia mencontohkan dalam pergantian striker, yang mana biasanya striker pengganti dianggap lebih baik dalam menjalankan instruksi pelatih.
"Kecuali, memang sang pelatih yang tidak punya instruksi dan strategi permainan yang jelas. Ini yang biasanya membingungkan penonton," terang Luhur.
Di institusi pemerintahan, lanjut Luhur, tidaklah cukup penempatan pimpinan dilakukan hanya berdasarkan pemenuhan syarat administratif dan kedekatan personal. Menurutnya, persediaan sumberdaya yang melimpah, memang sangat berlebihan mempromosikan pejabat-pejabat yang baru bermigrasi pada formasi jabatan yang tekanan politiknya sangat kuat.
"Pejabat seperti itu sulit membangun akseptabilitas pada warna-warna politik yang beragam. Sehingga misalnya sulit membedakan pengaruh warna merah dan biru," jelas Luhur.
Olehnya itu, Luhur menyebut pergantian-pergantian seperti ini, hanya akan semakin memperlihatkan kualitas kepemipinan Gubernur Sulsel dalam mengawal transisi pemerintahan di Kota Makassar yang less-direction atau kekurangan arah.
Luhur menjelaskan, saat ini warga Makassar disuguhi kepemipinan less-direction dan penuh ketidakpastian. Ia menilai, semua dibangun berbasis interest politik elektoral. Kendati penjabat wali kota tidak dipilih oleh warga. Namun sejatinya, Kota Makassar menurut Luhur membutuhkan pemimpin yang mampu menggerakkan solidaritas sosial lintas-batas.
"Termasuk dalam membangun kolaborasi dan punya strategi jitu untuk bersama melawan pandemi saat ini," katanya. (k36)