Bisnis.com, MANADO — Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara menyatakan bahwa pergerakan harga tomat sayur harus tetap diwaspadai dan menjadi perhatian oleh seluruh pihak terkait terutama memasuki periode permintaan tinggi pada akhir tahun.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) Arbonas Hutabarat menjelaskan bahwa harga tomat sayur sempat mengalami deflasi selamat tiga bulan berturut-turut pada Februari 2019–April 2019. Kondisi itu kembali berulang untuk periode Juli 2019–September 2019.
Dengan mengacu perkembangan harga Mei 2019 dan Juni 2019, lanjut dia, dapat terlihat adanya potensi pembalikan harga atau price reversal tomat sayur pada Oktober 2019 hingga Desember 2019. Pasalnya, permintaan komoditas itu terbilang tinggi untuk periode tersebut.
Arbonas mengatakan, potensi price reversal juga terlihat dari pantauan di lapangan. Pihaknya menyebut insentif petani untuk memanen tomat berkurang karena harga tomat sayur sudah mencapai titik terendahnya.
“Mempertimbangkan potensi risiko tersebut, pergerakan harga tomat sayur harus tetap diwaspadai dan menjadi perhatian oleh seluruh instansi/lembaga/dinas terkait terutama memasuki periode permintaan tinggi pada akhir tahun,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (1/10/2019).
Dia menekankan perlu dirumuskan langkah dan strategi yang tepat untuk mengantisipasi inflasi dari pergerakan harga tomat sayur. Hal itu khususnya dalam menjaga ketersediaan stok dan kelancaran distribusi.
“Demi mendukung keterjangkauan harga di tengah potensi permintaan tinggi pada Kuartal IV/2019,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dengan menilik perkembangan inflasi Sulut hingga September 2019, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulut memperkirakan tekanan inflasi pada Oktober 2019 akan berada di level moderat. Risiko yang ada yakni potensi price reversal komoditas strategis bahan makanan Sulut.
Arbonas menuturkan risiko terbatasnya pasokan komoditas strategis di pasar meningkat. Proyeksi itu sejalan dengan berkurangnya insentif bagi petani untuk panen karena rendahnya harga.
Selain itu, faktor kekeringan yang berlanjut di Sulut berpotensi memengaruhi komoditas sub kelompok bumbu-bumbuan. Kendati demikian, Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Sulut menyebut peluang normalisasi komoditas bumbu-bumbuan di luar pulau berpotensi mendorong penurunan harga lewat perdagangan antardaerah.
Di sisi lain, bank sentral juga menyoroti dampak kekeringan di beberapa sentra produksi beras yang juga berpotensi meningkatkan tekanan inflasi. Apalagi, komoditas itu merupakan makanan pokok masyarakat Sulut.
Sementara itu, gangguan cuaca dalam bentuk kekeringan di beberapa sentra produksi berpotensi meningkatkan tekanan inflasi pada komoditas beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Sulawesi Utara.
“Oleh karena itu, operasi pasar cadangan beras pemerintah [CBP] bersama Perum Bulog untuk ketersediaan dan stabilisasi harga,” dapat dipertimbangkan untuk dilakukan agar tidak menimbulkan efek terhadap peningkatan harga komoditas turunan lainnya,” jelas Arbonas.
Pihaknya mengklaim upaya pengendalian inflasi Sulut terus dilakukan Bank Indonesia bersama tim pengendali inflasi daerah (TPID). Langkah tersebut menurutnya mengacu kepada peta jalan TPID Sulut yang sudah disahkan Gubernur Sulut, selaku Ketua TPID Provinsi Sulut.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulut menyatakan optimistis tingkat inflasi Sulut tahun ini akan dapat dikendalikan dalam rentang sasaran inflasi nasional 3,5±1 persen year on year (yoy).
Seperti diketahui, Provinsi Sulut mencatatkan deflasi 1,03 persen pada September 2019. Posisi itu lebih rendah dibandingkan nasional yang berada di level 0,27 persen.
Pada periode tersebut, penurunan harga kelompok bahan makanan tercatat deflasi 4,27 persen. Hal itu menjadi faktor utama deflasi Sulut pada September 2019.
Adapun, kelompok tomat sayur kembali menjadi komoditas utama penyumbang deflasi dengan kontribusi 1,02 persen. Penurunan harga tomat sayur itu disebabkan oleh melimpahnya pasokan.