Bisnis.com, MANADO – Kembalinya Pelabuhan Tahuna sebagai hub tol laut belum direspons positif oleh pelaku usaha akibat adanya dugaan pungutan liar dan beban pajak tambahan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Kepulauan Sangihe Feliks Gaghaube menjelaskan, sebelumnya rute tol laut melayari Surabaya—Makassar—Tahuna. Namun, pada akhir tahun lalu pelabuhan hub dipindahkan dari Tahuna ke Bitung.
Keputusan itu menuai protes dari para pedagang Gerai Maritim di Tahuna karena dinilai tidak efektif. Mulai Juni, rute itu akhirnya dikembalikan seperti semula. Namun demikian, kembalinya rute itu tidak terlalu disambut positif oleh para pelaku usaha.
“Ketika hub dikembalikan ke Tahuna, pedagang Gerai Maritim yang ada di Tahuna ternyata tidak merespons positif. Muatan menjadi lebih sedikit, pedagang yang ikut [tol laut] juga menjadi sedikit,” katanya kepada Bisnis, Kamis (29/8/2019).
Sebelumnya, terdapat 17 pedagang Gerai Maritim di Tahuna. Rata-rata pengiriman dalam satu kali pelayaran mencapai sekitar 80-an kontainer. Saat ini, tersisa 3—4 pedagang yang masih menggunakan tol laut. Jumlah muatan juga menurun menjadi 16 kontainer per pelayaran.
“Waktu tol laut ini pertama kembali ke Tahuna muatannya hanya 16 kontainer, padahal biasanya 60—80 kontainer per trayek. Isinya hanya aspal delapan kontainer, dan sisanya barang pokok, barang penting, dan barang lainnya. Sangat signifikan turunnya,” jelasnya.
Baca Juga
Feliks mengatakan, para pedagang enggan kembali memanfaatkan tol laut karena harus membayar pungutan liar. Para pedagang akhirnya menggunakan kapal dari Manado atau Bitung yang menawarkan tarif lebih murah.
Selain itu, dia mengatakan pedagang enggan menggunakan tol laut karena adanya tagihan pajak yang tak jelas. Salah satu pedagang mengaku menerima tagihan pajak sebesar Rp127 juta dari Kantor Pajak Pratama Tahuna.
“Menurut hasil klarifikasi kami, mereka [KPP Tahuna] mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan tugas sesuai undang-undang perpajakan. Namun, ini masih kami dalami karena sejauh ini infonya baru tagihan, belum ada pembayaran atas tagihan itu,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Provinsi Sulawesi Utara Jenny Karouw mengatakan bahwa dengan adanya pungutan dan pajak itu biaya pengiriman menggunakan kapal tol laut mencapai sekitar Rp7 juta per kontainer.
Dia menjelaskan, para pedagang mengaku dimintai biaya tambahan untuk mengupah buruh di pelabuhan dan menjaga keamanan barang di dalam kapal. Hal ini membuat pedagang membebankan biaya itu kepada konsumen.
“Sehingga, contohnya semen di daerah kepulauan yang mereka beli di Makassar Rp35.000, terpaksa mereka harus dijual Rp80.000 di daerah kepulauan. Hal ini membutuhkan pengawasan yang tepat karena pelaku usaha merasa masih banyak biaya saat menggunakan fasilitas pemerintah tersebut,” jelasnya.
Hal ini juga berdampak terhadap distribusi barang ke daerah kepulauan lain seperti Kepulauan Sitaro dan Kepulauan Talaud. Kapal feeder dari Tahuna tak dimanfaatkan karena harga beli barang terlalu tinggi. Pedagang memilih mengirim barang langsung dari Manado atau Bitung.
Ekonom Sulut Noldy Tuerah mengatakan, kondisi itu merupakan ketidakpastian yang menjadi disinsentif bagi dunia usaha. Menurutnya, tol lau semestinya menjadi fasilitas untuk menurunkan harga barang di daerah kepulauan.
“Perlu ada tindakan dari pemerintah pusat, karena ini menjadi beban bagi ekonomi masyarakat lokal di pesisir kepulauan perbatasan. Seharusnya, kita tidak perlu menambah beban bagi masyarakat di perbatasan yang sudah turut menjaga NKRI,” ujarnya.