Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Sulut Tertinggi se-Indonesia pada Juni

Tingkat inflasi Sulawesi Utara pada Juni mencapai 3,6%, menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Ilustrasi./Antara
Ilustrasi./Antara

Bisnis.com, MANADO — Tingkat inflasi Sulawesi Utara pada Juni mencapai 3,6%, menjadi yang tertinggi di Indonesia. Kenaikan harga tomat menjadi penyebab utamanya tingkat inflasi di Bumi Nyiur Melambai.

Secara tahunan, inflasi Sulawesi Utara (Sulut) yang diwakili Kota Manado mencapai 5,1%, lebih tinggi dari tingkat inflasi nasional secara tahunan sebesar 3,28%. Adapun, secara tahun berjalan inflasi di Ibu Kota Sulut mencapai 4,77%, lebih tinggi dari inflasi tahun berjalan nasional 2,05%.

Kepala Badan Pusat Satistik (BPS) Sulut Ateng Hartono mengatakan, inflasi itu didorong oleh kenaikan harga kelompok bahan makanan sebesar 13,73%. Komoditas tomat sayur, lanjutnya, menjadi penyumbang terbesar tingkat inflasi.

“Harga tomat setelah lebaran [awal Juni] cukup tinggi, harganya masih bergerak, sehingga andil inflasi tomat itu sangat tinggi sekali 3,45%. Mudah-mudahan ada mekanisme agar harga tomat bisa terjaga pergerakannya tidak tinggi,” katanya di Manado, Senin (1/7/2019).

Dia menuturkan, salah satu penyebab meroketnya harga tomat adalah kegiatan perdagangan antarpulau ke beberapa daerah Timur di Indonesia. Meski menjadi peluang bagi petani, perdagangan itu menjadi tantangan besar bagi pengendalian harga di Manado.

Tingkat produksi tomat di Sulut yang mencapai sekitar 30.000 ton per tahun masih mencukupi kebutuhan konsumsi lokal sekitar 26.000 per tahun. Namun, tidak seluruh produksi tersebut diserap oleh konsumsi lokal.

Kebutuhan di daerah lain seperti Papua dan Maluku turut dipenuhi oleh Sulut yang tercatat memiliki jumlah produksi terbesar kedua di Indonesia Timur. Harga jual yang lebih tinggi, membuat para pedagang memilih mengekspor tomat ke daerah lain.

Ateng menerangkan, meski Inflasi Sulut tercatat paling tinggi di Indonesia, masih ada harapan untuk menjaga stabilitas harga ke depan. Hal itu, lanjutnya, didasarkan pada fakta bahwa faktor penyebab inflasi hanya berpusat pada satu komoditas saja.

Inflasi pada komoditas lain tercatat jauh lebih rendah dibandingkan tomat sayur. Cakalang/sisik yang memiliki andil terbesar kedua, tercatat hanya sebesar 0,19%. Selain itu, jeruk nipis/limau tercatat hanya mengalami inflasi sebesar 0,08%.

Selain itu, inflasi Sulut masih terkendali lantaran tomat sayur tidak memberi dampak lanjutan terhadap naiknya harga komoditas lain. Lain halnya dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang juga menyebabkan kenaikan harga komoditas lain.

“Kalau penyumbang inflasi hanya terjadi satu komoditas dan itu terjadi di lokal maka masih inflasi berpeluang untuk diturunkan dengan catatan BEP [break even point]pada level petani itu harus dicari level paling idealnya, itu saja,” katanya.

Meski menjadi pendorong inflasi dalam 2 bulan ke belakang, pada awal tahun harga tomat sayur justru terus terpuruk dan menjadi penyumbang deflasi. Namun, sejak Mei harga komoditas ini mulai naik dan berperan besar terhadap inflasi dalam dua bulan berturut-turut di Manado.

Meski begitu, kenaikan harga tomat sayur tidak terlalu berdampak terhadap nilai tukar petani (NTP) petani hortikultura. Ateng menuturkan, pada Juni TNP petani Sulut hanya naik 0,88% dari 89,18 pada bulan sebelumnya, menjadi 89,97.

Kepala Bagian Ekonomi Pemprov Sulut Sonny Runtuwene mengatakan, lonjakan inflasi pada Juni sudah diantisipasi oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sulut. Menurutnya, bibit inflasi bukan didorong oleh kenaikan harga di tingkat petani, melainkan di tingkat pedagang.

“Sejak Mei dan masuk di Juni kami melihat ada tendensi kenaikan, dan peningkatan ini terjadi bukan ditingkat petani secara umum, tetapi di mekanisme perdagangan pasar, antara pedagang pengumpul sampai pedagang besar, itu yang terjadi peningkatan harga yang signifikan,” ujarnya.

Hal itu, lanjutnya, menjelaskan mengapa kenaikan harga tomat tidak serta merta mengerek NTP petani secara signifikan. Dia mengatakan bahwa TPID Sulut tengah mencari solusi terkait distribusi bahan pangan yang dituding menjadi penyebab volatilitas harga di Manado.

“Kenaikan ini tidak terjadi di tingkat petani, untuk tomat harga di tingkat petani hanya Rp8.000—Rp15.000, sampai di pedagang Rp26.000, itu di tingkat petani tidak banyak peningkatan terjadi, tapi naik harganya saat masuk ke jaringan pedagang pengumpul, ada juga pedagang perantara,” jelasnya.

Dalam waktu dekat, masyarakat akan merayakan hari pengucapan atau thanks giving ala kebudayaan Minahasa. Setiap kabupaten dan kota, merayakannya secara bergiliran setiap pekan selama Juli—Agustus.

Sonny menuturkan, TPID Sulut juga telah mengantisipasi kenaikan harga lanjutan pada periode pengucapan itu. Dia menuturkan, konsumsi permintaan masyarakat akan naik seiring dengan banyaknya pesta yang digelar oleh setiap rumah tangga di Sulut.

“Dalam waktu dekat kami juga akan memberikan bantuan bibit kepada petani untuk melancarkan produksi mereka, khususnya untuk komoditas bawang, rica [cabai], dan tomat yang permintaannya akan naik,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler