Bisnis.com, MANADO—Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sulawesi Utara bersinergi untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok menjelang Idulfitri melalui kerja sama antarlembaga dan penambahan pasokan dari daerah lain.
Kepala TPID Sulut Sekaligus Gubernur Sulut Olly Dondokambey mengatakan, pengelolaan harga cabai rawit merah menjadi salah satu fokus saat ini. Harga komoditas tersebut tercatat meningkat signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
“Menjelang lebaran ini, saya pantau cabai sudah sekitar Rp75.000 per kilogram, padahal di Makassar masih Rp35.000, di Jawa Timur juga masih lebih rendah dari ini,” katanya di dalam High Level Meeting TPID Sulut di Manado, Senin (20/5/2019).
Dia mengatakan, sebenarnya saat ini beberapa daerah di Sulut tengah mengalami musim panen untuk cabai. Namun, jenis cabai yang dihasilkan adalah cabai merah besar, bukan cabai rawit merah yang permintaannya meningkat belakangan ini.
Olly mengutarakan, untuk menyiasati masalah tersebut, TPID Sulut akan mendatangkan tambahan pasokan cabai rawit merah dari Surabaya. Untuk menekan ongkos transportasi pengiriman, Pemprov Sulut akan bekerja sama dengan TNI-AU.
“Kita perlu menstabilkan harga, kalau tidak petani nanti untung sendiri dan inflasi. Kami yang akan memfasilitasi, disesuaikan dengan pesawat Hercules dari TNI-AU saat ada jadwal ke Sulut di sana muat sekitar 20 ton lah,” ujarnya.
Dia mengatakan cara tersebut telah dilakukan tahun lalu dan terbukti berhasil menahan laju kenaikan harga cabai atau rica. Adapun, dia mengharapkan dengan rencana penambahan pasokan dari Surabaya tersebut akan membuat harga cabai di pasar turun ke kisaran Rp40.000—Rp50.000.
Selain itu, dia mengatakan pengelolaan harga bahan pokok ke depan akan memaksimalkan peran Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) untuk mengajak masyarakat menanam cabai dan komoditas hortikultura lainnya secara mandiri di rumah mereka.
Olly juga menyampaikan, dengan adanya kerja sama dengan pemerintah Filipina untuk pelayaran kapal kargo Roro, kebutuhan barang pokok bisa dipenuhi melalui impor. Dia mencontohkan, impor Bawang putih yang dikirm dari China melalui Surabaya, nantinya dapat langsung dikirim ke Bitung.
“Nanti barang yang biasa impor ke Jakarta lewat sini sini barangnya lewat jalurnya RoRo, nanti juga kami akan buka jalur dari Hongkong—Bitung—Surabaya. Bawang putih, misalnya lewat sini tidak masalah, tidak perlu surabaya dulu,” jelasnya.
Dia menambahkan, untuk bahan pokok lainnya seperti beras, minyak, daging ayam, telur, hingga gula diperkirakan tidak akan mengalami lonjakan harga yang signifikan. Hal itu sejalan dengan pernyataan Perum Bulog Divre Sulut dan Gorontalo yang menjamin kesediaan stok hingga sekitar 2 bulan ke depan.
Semetara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulut Arbonas Hutabarat mengatakan, selain melakukan intervensi pasar melalui penambahan pasokan, TPID akan melakukan operasi pasar murah di sejumlah titik. Operasi tersebut akan diatur oleh Disperindag Sulut.
Selain itu, dia mengatakan bahwa ke depan TPID akan memetakan produksi hasil pertanian di Sulawesi Utara, khususnya untuk komoditas bawang, rica, dan tomat atau barito yang dinilai selalu menjadi pendorong inflasi.
“Yang kami perlu petakan ke depan adalah daerah mana yang produksi, daerah mana yang defisit. Nanti itu semua disesuaikan dan dipertemukan mereka melalui perdagangan internal Sulawesi Utara, sehingga perdagangan terjadi di sini, tidak keluar barangnya,” ujarnya.
Dia juga mengapresiasi langkah Pemprov Sulut untuk bekerja sama dengan TNI-AU dalam pengiriman pasokan dari tanah Jawa. Menurutnya, cara tersebut cukup efektif mengurangi biaya pengiriman yang lebih mahal jika menggunakan pesawat komersial.
Namun demikian, Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow mengharapkan TPID Sulut tidak terlalu banyak menambah pasokan menjelang lebaran. Menurutnya, jangan sampai intervensi TPID membuat penurunan harga terlalu dalam dan merugikan petani.
“Kalau harga produksi melimpah, harga jatuh, apakah ada invtervensi dari pemerintah untuk membeli barang tersebut? Kalau mendatangkan cabai dari surabaya, harga langsung turun, jadi menurut kami kalau invetervensi jangan terlalu banyak [tambahan pasokannya],” jelasnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Ateng Hartono mengatakan juga mengharapkan agar pengelolaan inflasi tidak hanya berfokus pada kelompok bahan pangan. Menurutnya, hal itu dapat membahayakan para petani lokal di Sulawesi Utara.
Dia menjelaskan, inflasi tahun kalender yang sampai dengan April mencapai -1,42% lebih banayk dikontribusi oleh penurunan harga kelompok tanaman pangan. Di sisi lain, kelompok nonpangan megalami kenaikan harga atau inflasi pada periode tersebut.
“Harapannya terjadinya inflasi rendah itu di nonpangan, karena pangan ini kan sebagian besarnya produk Sulut, kalau nonpangan [deflasi] ini akan bagus untuk meningkatkan daya beli. Kalau terus menerus ditekan harga tanaman pangan, daya belinya akan berbahaya,” jelasnya.