Bisnis.com, MANADO—PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo atau Bank Sulutgo berhasil mencapai target pertumbuhan aset hingga kuartal I/2019. Namun, perseroan masih harus bergelut dengan penurunan laba.
Sampai dengan akhir Maret, total aset Bank Sulutgo tercatat Rp16,76 triliun, atau tumbuh 7,38% secara tahunan. Adapun, pada periode yang sama tahun sebelumnya total aset perseroan tercatat sebesar Rp15,61 triliun.
Direktur Utama Bank Sulutgo Jeffry A. M. Dendeng mengatakan bahwa pertumbuhan aset tersebut sejalan dengan target perseroan, bahkan sedikit melebihi target semula. Pertumbuhan itu, lanjutnya, didorong oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
“Kuartal I ini secara aset kami melampaui target, secara DPK juga kami melampaui target, kredit juga hampir mencapai target, sekitar 98,5% dari target. Jadi, aset, DPK, kredit hampir semua mencapai bahkan melampaui,” katanya kepada Bisnis, Senin (29/4/2019).
Total kredit perseroan tercatat Rp11,23 triliun, atau tumbuh 1,45% secara tahunan. Adapun, total DPK tercatat mengalami pertumbuhan 8,21% secara tahunan menjadi Rp14,28 triliun. Pertumbuhan sumber dana didorong oleh peningkatan simpanan berjangka atau deposito.
Jeffry mengutarakan, pertumbuhan DPK tersebut merupakan buah dari langkah perseroan mengamankan likuiditas pada akhir tahun lalu. Dana institusional berjangka panjang dalam jumlah besar yang berhasil diraup masih bertahan hingga awal tahun ini.
Kendati demikian, hal itu berimbas pada biaya dana atau cost of fund (CoF) yang meningkat. Pasalnya, dana didapatkan dengan bunga cukup tinggi, tetapi di sisi lain suku bunga kredit belum mengalami penyesuaian.
“Sekarang kami perlu merapikan rate-nya supaya tidak beban. Baru nanti penyaluran kredit penyesuaian, sementara ini dengan bunga yang ada saja dulu. Kalau sudah turun [CoF] baru kami pikirkan untuk perbaiki kreditnya,” jelasnya.
Adapun, komposisi dana murah yang terdiri dari tabungan dan deposito mencapai 27,61% dari total DPK perseroan. Rasio tersebut menurun dibandingkan dengan rasio dana murah pada periode yang sama tahun lalu sebesar 31,83%.
Dia mengatakan perseroan akan menggenjot pertumbuhan dana murah untuk menurunkan biaya dana pada tahun ini. Komposisi dana murah atau current account and saving account ditargetkan dapat mencapai sekitar 30% pada akhir tahun.
Berbagai strategi telah disiapkan perseroan untuk menggenjot dana murah. Di antaranya, perseroan akan memaksimalkan produk-produk baru seperti kartu debit, layanan perbankan digital, hingga jasa manajemen kas.
Saat ini, lanjutnya, proses izin pengajuan kartu debit sudah dirampungkan dan tinggal menunggu keputusan dari Bank Indonesia. Adapun, layanan perbankan digital masih dalam tahapan uji coba internal.
“BSG mobile, IT auditnya sudah selesai, nanti kami tinggal ajukan izin. Kemudian debit, kan tinggal beberap poin yang masih diminta oleh BI [Bank Indonesia]. Tinggal kami penuhi, saya tidak tahu kapan disetujui, tapi menurut saya seharusnya tidak lama lagi,” jelasnya.
Adapun pada penyaluran dana, dia menjelaskan perseroan akan mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif. Bank Sulutgo, lanjutnya, akan memaksimalkan pembiayaan kepada segmen komersial, khususnya kepada debitur-debitur usaha, kecil, dan menengah (UKM).
Di luar itu, perseroan akan mengandalkan beberapa kredit sindikasi pada tahun ini. Salah satu penyaluran kredit yang tengah dijajaki adalah kredit sindikasi untuk proyek pengembangan Bandara Sam Ratulangi, Manado.
“Sudah dalam tahap penjajakan tapi belum tahu kapan deal-nya. Penawarannya sih kemarin keikutsertaan kami sekitar Rp100 miliar, tapi belum diputuskan, masih hitung-hitung rate-nya [bunga],” katanya.
Dia mengharapkan porsi kredit produktif terhadap total kredit perseroan dapat mencapai kisaran 12%—13% pada akhir tahun ini. Adapun, rasio kredit produktif terhadap total kredit saat ini baru mencapai sekitar 11%.
Jeffry menambahkan, kebijakan mendorong kredit produktif secara selektif itu dilakukan untuk menghindari risiko peningkatan kredit bermasalah. Kredit konsumtif, khususnya kredit berbasis payroll, menjadi salah satu pendorong kredit bermasalah perseroan yang berimbas pada penurunan laba.
Per akhir Maret, total laba perseroan tercatat sebesar Rp8,27 miliar, turun jauh dibandingkan torehan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp98,85 miliar. Hal ini disebabkan oleh pembengkakan cadangan kerugian penurunan nilai keuangan (CKPN) karena meningkatkan kredit bermasalah.
Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) tercatat sebesar 4,45%, meningkat dari 1,38% pada Maret 2018. Kondisi ini turut memengaruhi beberapa rasio lainnya seperti return on asset (RoA) dan return on equity (RoE) yang harus tergelincir jauh.
Kendati demikian, dia mengatakan baha perseroan optimistis dapat mengatasi persoalan kredit bermasalah tersebut. Dia mengharapkan, mulai semester II/2019 perseroan sudah bisa mendulang laba seiring dengan menurunnya beban pembentukan CKPN.
“Akhir semester I harusnya sudah mulai pulih, kalau sudah stop, tidak ada tambahan CKPN lagi. Yang kami kejar sekarang adalah untuk tambahan kredit lagi, selagi mengupayakan supaya kredit ini lancar lagi, sehingga CKPN yang terbentuk akan kembali ke pos laba/rugi lagi,” jelasnya.