Bisnis.com, MANADO—Petani kelapa di Sulawesi Utara diminta mengubah pola tanam untuk menyiasati harga jual kelapa masih terpuruk. Hal itu juga dilakukan untuk meremajakan pohon kelapa yang mayoritas sudah berusia di atas 60 tahun.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulawesi Utara (APEKSU) George Umpel mengatakan bahwa saat ini harga jual komoditas unggulan Sulawesi Utara (Sulut) tersebut masih terpuruk di kisaran Rp3.000/kg. Menurutnya, kondisi ini merupakan periode yang suram bagi para petani kelapa.
“Ini risiko monokultur, saat harga jual komoditasnya turun petaninya tidak berdaya. Mau mengandalkan apa lagi? Tidak ada komoditas lain yang ditanam di sana,” katanya kepada Bisnis, Rabu (4/4/2019).
Guna menyiasati hal tersebut, menurutnya saat ini petani dan pengusaha kelapa harus mengubah pola tanamnya menjadi polikultur. Menurutnya, dari luasan lahan perkebunan kelapa sekitar 270.000 Hektare di Sulawesi, 60% dari lahan tersebut dapat ditanami tanaman lain.
Besaran lahan tersebut, lanjutnya, merupakan kalkulasi dari luasan lahan yang dipenuhi pohon-pohon kelapa tua, berusia di atas 60 tahun. Menurutnya, pada usia tersebut pohon kelapa sudah seharusnya mengalami peremajaan.
Untuk menghindari risiko turunnya harga komoditas di masa mendatang, menurutnya peremajaan dapat dilakukan berbarengan dengan perubahan pola tanam. Lahan tanam dapat dipadukan antara kelapa dan komoditas lain seperti jagung, cengkeh, ataupun pala.
Baca Juga
“Perubahan pola tanam ini yang saya anjurkan untuk menghindari risiko yang sama di masa mendatang. Perubahannya juga tidak usah sekaligus, bisa perlahan-lahan sesuai musim tanam yang cocok saat ini,” katanya.
Di sisi lain, hal itu juga dapat meningkatkan produktifitas dan kualitas kelapa yang dihasilkan. Menurutnya, kelapa yang sudah tua memiliki ukuran buah yang lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit. Usia ideal pohon kelapa produktif menurutnya adalah 30—40 tahun.
Dari penanaman hingga berbuah, pohon kelapa membutuhkan waktu sekitar 4 tahun. Namun, di tengah kondisi turunnya harga komoditas seperti saat ini, peremajaan kelapa agak sulit dilakukan karena pendapatan petani sedang seret.
“Cuma tantangannya sekarang seperti itu, karena untuk peremajaan kan tidak murah biayanya sementara harga sedang turun,” ujarnya.
Dia mengatakan, salah satu solusi lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menggenjot produksi hasil olahan dalam bentuk minyak kelapa. Menurutnya, komoditas tersebut relatif memiliki harga yang lebih stabil dan lebih tinggi, mencapai Rp25.000/liter.
Akan tetapi, hal tersebut juga masih sulit dilakukan oleh para pelaku industri lantaran keterbatasan mesin pengolahan yang ada. Menurutnya, bantuan mesin dari pemerintah juga tidak terlalu banyak membantu karena masih terlalu tradisional.
“Terlalu sederhana mesinnya, kapasitas produksinya juga tidak besar sehingga belum banyak yang tertarik memanfaatkannya secara maksimal. Padahal, mesin yang bagus di Jakarta banyak, harganya sekitar Rp60 juta, tidak mahal kalau pemerintah mau bantu,” jelasnya.
Menurutnya, keterbatasan modal membuat para petani kelapa masih bergantung kepada bantuan pemerintah. Pasalnya, alternatif pembaiyaan dari bank sulit didapatkan oleh mereka. Menurutnya bank menilai industri kelapa tidak sebaik industri kelapa sawit.