Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ironi Beras di Lumbung Pangan

Gubernur Sulawesi Selatan pada berbagai kesempatan, senantiasa mengumbar jika produksi beras dari daerah tersebut membentuk surplus hingga 2,6 juta ton. Beras-beras yang berlebih itu, diklaim bahkan mampu memasok kebutuhan konsumsi beras terhadap belasan provinsi lain di Tanah Air.
Ilustrasi/JIBI
Ilustrasi/JIBI

Bisnis.com, MAKASSAR--Gubernur Sulawesi Selatan pada berbagai kesempatan, senantiasa mengumbar jika produksi beras dari daerah tersebut membentuk surplus hingga 2,6 juta ton. Beras-beras yang berlebih itu, diklaim bahkan mampu memasok kebutuhan konsumsi beras terhadap belasan provinsi lain di Tanah Air.

Namun pada sisi lain, posisi Sulsel sebagai sentra produksi beras nyatanya tidak mempengaruhi komposisi maupun kontribusi komoditas primer tersebut terhadap laju inflasi. Beras secara konsisten menjadi komoditas dengan penyumbang terbesar terhadap struktur inflasi di daerah tersebut.

Sebagai gambaran, pada awal tahun ini di tengah sesumbar Gubernur Sulsel yang menyatakan Sulsel kelebihan pasokan, beras justru menjadi penyumbang terbesar pada struktur pembentukan inflasi daerah tersebut. Besaran persentasenya mencapai 0,25% (data BPS) atau berada di atas komoditas atau komponen pembentuk inflasi lainnya.

Data tersebut mengindikasikan terjadi pergerakan harga beras, yang tentu saja dipicu oleh permintaan tinggi namun tidak dibarengi dengan ketersediaan stok yang optimal. Pada titik tersebut, indeks harga komoditas primer itu bergerak naik sehingga berpengaruh besar terhadap laju inflasi.

Tentu hal tersebut menjadi permasalahan yang membingungkan, di mana Sulsel sebagai sentra produksi beras mengalami inflasi yang dipicu oleh komoditas primer itu sendiri. Surplus beras yang diklaim sebesar 2,6 juta terasa hambar jika kemudian dikomparasi dengan kondisi inflasi yang terjadi.

Deputi Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sulsel, Dwityapoetra S. Besar memandang kondisi tersebut terjadi lantaran terjadi sebuah ketimpangan dalam skala prioritas penyaluran beras untuk masyarakat yang dijalankan oleh otoritas terkait.

Dia berpendapat, Sulawesi Selatan yang saat ini menjadi penghasil beras hingga membentuk surplus dengan rasio sangat besar itu sebaiknya lebih memprioritaskan ketersediaan lokal sehingga menekan potensi pergerakan harga. Memasok kebutuhan daerah lain bisa menjadi perencanaan berikutnya melalui skema pembagian komposisi alokasi.

"Seharusnya begini, Sulsel fokus dulu memastikan pemenuhan kebutuhan beras di lokal sini [Sulsel], jika semuanya benar-benar terkendali dan terpenuhi barulah memikirkan opsi pengiriman ke daerah lain," katanya, Rabu (21/3/2018).

Menurut Dwityapoetra, skema tersebut bisa efektif dalam mengendalikan inflasi terutama kontribusi dari komoditas beras, yang mana ketersediaan bisa lebih optimal meski permintaan masyarakat dalam level yang tinggi.

Namun demikian, hal tersebut membutuhkan kebijakan dari otoritas terutama dari pemerintah daerah level provinsi untuk mengatur secara proporsional arah penyaluran komoditas beras. Surplus beras yang tercipta bisa diarahkan untuk memasok kebutuhan penyerapan oleh Bulog maupun memasok pedagang ritel di pasar-pasar tradisional sehingga harga yang diterima masyarakat lebih terkendali.

Adapun posisi bank sentral sebagai bagian dari Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sulsel, papar Dwityapoetra, akan dioptimalkan guna mendorong Pemprov Sulsel menerbitkan kebijakan dalam pengaturan pemanfaatan surplus beras dari daerah tersebut.

"Kebijakan pengiriman beras ke daerah lain [provinsi lain] itu domainnya di tangan Gubernur Sulsel, kami akan menyampaikan pandangan ini kepada gubernur secara formal nantinya," kata dia.

Kendati demikian, lanjutnya, serangkaian langkah pengendalian bersama dengan intansi terkait juga terus dilakukan agar inflasi komoditas beras bisa ditekan sehingga secara keseluruhan mampu merealisaikan proyeksi inflasi 2018 berada di kisaran 3,5% plus minus 1%.

Sementara itu, produksi beras Sulsel pada tahun ini diproyeksikan pula kembali mengalami peningkatan kuantitas sejalan dengan produksi gabah yang ditargetkan mencapai 6,7 juta ton kumulatif periode panen.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (KPTPH) Sulsel, Fitriani mengemukakan pihaknya optimis dengan target yang dibebankan dengan mengupayakan produktivitas bisa menjadi 56,56 kuintal per hektare.

"Bahkan kami harap realisasi hingga akhir 2018 nanti bisa dia tas proyeksi awal. Ada beberapa program untuk mencapai target tersebut mulai penyiapan bibit yang bagus, pupuk harus ada, teknologi budidaya termasuk pemeliharaan," katanya.

Sebagai informasi, luasan areal persawahan di Sulsel saat ini mencapai 393.877 hektare yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah non irigasi. Dari areal tersebut, seluas 649.190 hektare ditanami padi secara berkelanjutan sedangkan sisanya tidak ditanami padi maupun sementara tidak diusahakan.

Produktivitas padi Sulsel juga ditopang oleh kapasitas lahan persawahan yang mampun mencatatkan periode tanam hingga tiga kali dalam setahun, yang mana terdapat 34.473 hektare yang memungkinkan hal tersebut. Kemudian sebagian besar 416.656 hektare persawahan Sulsel memungkikan periode tanam dua kali dalam setahun sedangkan sisanya hanya sekali dalam setahun.

Fitriani menuturkan, frekuensi penanaman padi areal persawahan itu menjadi indikator produktivitas lahan yang selanjutnya menjadi penopang kuantitas produksi beras Sulsel pada level optimal. "Kedepannya diharapkan bisa lebih maksimal, terutama rasio produktivitas per hektare agar lebih meningkat dengan beragam upaya," katanya.

Dalam perkembangan lain, Bulog Divre Sulselbar menargetkan prognosa beras dari Sulsel bisa mencapai 400.000 ton hingga akhir 2018, meskipun pada kuartal pertama berjalan ini masih berada pada kisaran 16.000 ton.

Humas Bulog Divre Sulselbar, Ervyna Zulaeha mengemukakan realisasi serapan tersebut sejauh ini menyesuaikan dengan produktivitas sentra beras Sulsel yang sebagian masih menunggu musim panen.

Di sisi lain, lanjut dia, dukungan terhadap pengendalian harga beras bakal diimplementasikan melalui operasi pasar murah dengan skema memasok kebutuhan beras bagi masyrakat dengan kerangka program gerakan stablisasi pangan.

Kabid Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perdagangan Sulsel, Gemala Faoza mengemukakan telah mendorong Bulog untuk mempercepat penyerapan beras agar upaya stabilisasi harga bisa lebih siap dan optimal dilaksanakan.

Gemala melanjutkan, serapan beras Bulog juga akan dijadikan acuan untuk melaksanakan operasi pasar jelang bulan puasa, terlebih harga beras di Sulsel diakui sedikit di atas HET beras medium yakni Rp9.450 per kilogram.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Amri Nur Rahmat
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper