Bisnis.com, PALU - Ratusan warga menziarahi dan memanjatkan doa di pemakaman massal korban bencana 2018 di Kelurahan Poboya, Selasa, untuk memperingati tiga tahun bencana gempa disertai tsunami 28 September 2018 yang meluluhlantakkan Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Di areal pekuburan massal tersebut terkubur ribuan jenazah korban gempa, tsunami dan likuefaksi baik yang identitasnya diketahui maupun tidak. Warga memadati areal pekuburan massal tersebut sejak pagi.
Salah satu penziarah, Monita, menceritakan bahwa 12 anggota keluarganya menjadi korban tsunami dan dikubur di pekuburan massal tersebut.
"Mereka adalah orang tua saya, saudara kandung, ponakan atau anak dari saudara. Mereka semua tersapu tsunami di pantai Teluk Palu dan meninggal dunia. Hanya satu yang berhasil selamat," katanya saat bercerita kepada Antara, Selasa (29/9/2021).
Ia menceritakan saat itu ke 12 anggota keluarganya pergi ke Pantai Teluk Palu untuk berkunjung dan menyaksikan Festival Pesona Palu Nomoni yang dilaksanakan Pemerintah Kota Palu di sana.
"Saat itu ada salah satu yang berulang tahun jadi semua diajak dengan yang berulang tahun itu untuk pergi merayakan ulang tahunnya. Saya dengan suami sempat diajak tapi suami melarang karena saat itu gempa terus mengguncang hingga sore," ujarnya.
Baca Juga
Firasat akan terjadi sesuatu yang mengerikan di sana juga menjadi penyebab suami Monita sampai melarangnya sehingga ia mengurungkan niatnya untuk pergi.
Tidak lama setelah tsunami, salah satu anggota keluarganya yang selamat datang memberitahukan bahwa 12 orang itu sudah tidak selamat dan meninggal dunia.
Namun sayang ia tidak sempat menemukan jenazah 12 orang keluarganya.
"Saat mencari di Rumah Sakit Bhayangkara ada banyak sekali mayat. Sudah tidak bisa dikenali dan terpaksa dimakamkan massal di pekuburan massal korban bencana Poboya. Kami di sini hanya menebak dan langsung mendirikan nisan di atasnya dengan menulis nama 12 orang ini," tambahnya.
Penziarah lainnya Muksin juga menceritakan hal yang kurang lebih sama. Adik iparnya yang menjadi korban tsunami dan dimakamkan di pekuburan massal tersebut.
"Ibaratnya dia datang kemari hanya untuk menjemput ajalnya. Padahal saat hari Jumat (hari terjadinya bencana) ia datang dari Surabaya sekitar jam 11 siang lewat. Kami bahkan sempat shalat Jumat bersama di masjid di Bandara Mutiara Sis Al-Djufrie," katanya.
Saudara iparnya itu datang ke Palu hanya untuk mengikuti event lomba sepeda yang merupakan rangkaian dari Festival Pesona Palu Nomoni yang diadakan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Kota Palu yang ke-40 saat itu.
"Sorenya ia ke Pantai Teluk Palu di kawasan penggaraman menaiki sepeda yang ia akan pakai saat lomba sepeda nanti. Saat di sana terjadilah gempa disusul tsunami dan ia menjadi salah satu korban yang meninggal dunia. Padahal ia berada di Palu belum sampai 12 jam," terangnya.