Bisnis.com, KENDARI - Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi menegaskan pihaknya menyerahkan kasus yang menimpa Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur ke jalur hukum setelah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (21/9).
"Itu (kasus Bupati Kolaka Timur ditangkap KPK, Red) kami serahkan kepada hukum, biar diproses secara hukum," kata Ali Mazi, di Kendari, Jumat (24/9/2021).
Gubernur Sultra tak banyak berkomentar terkait kasus tersebut, karena menurut dia, pihaknya sebagai pemerintah yang hanya bekerja untuk melayani rakyat. "Kami ranahnya pemerintah, bekerja untuk rakyat," ujar dia.
Ali Mazi mengimbau kepada seluruh kepala daerah bupati/wali kota agar bekerja sebaik mungkin dalam melayani masyarakat dengan berlandaskan pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan kronologi operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur (AMN) bersama lima orang lainnya di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Selasa (21/9) malam.
"Dalam kegiatan tangkap tangan ini, tim KPK telah mengamankan enam orang pada Selasa, 21 September 2021 sekitar jam 8 malam di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Baca Juga
Adapun lima orang lainnya, yaitu Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kolaka Timur Anzarullah (AZR), Mujeri Dachri (MD) yang merupakan suami Andi Merya, dan tiga ajudan Bupati Kolaka Timur masing-masing Andi Yustika (AY), Novriandi (NR), dan Muawiyah (MW).
Ghufron menjelaskan pada Selasa (21/9), tim KPK menerima informasi dari masyarakat akan adanya dugaan penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diduga telah disiapkan dan diberikan oleh Anzarullah.
"Tim KPK selanjutnya bergerak dan mengikuti AZR yang telah menyiapkan uang sejumlah Rp225 juta," ujar Ghufron.
Dalam komunikasi percakapan yang dipantau oleh tim KPK, lanjut dia, Anzarullah menghubungi ajudan Andi Merya untuk meminta waktu bertemu dengan Andi Merya di rumah dinas jabatan bupati.
Anzarullah kemudian bertemu langsung dengan Andi Merya di rumah dinas jabatan bupati dengan membawa uang Rp225 juta untuk diserahkan langsung kepada Andi Merya.
"Namun, oleh karena di tempat tersebut sedang ada pertemuan kedinasan sehingga AMN menyampaikan agar uang dimaksud diserahkan oleh Anzarullah melalui ajudan yang ada di rumah kediaman pribadi AMN di Kendari," kata Ghufron.
Saat meninggalkan rumah jabatan Bupati, tim KPK langsung mengamankan Anzarullah, Andi Merya, dan pihak terkait lainnya serta uang sejumlah Rp225 juta.
"Semua pihak yang diamankan kemudian dibawa ke Polda Sulawesi Tenggara untuk dilakukan permintaan keterangan dan selanjutnya dibawa ke Gedung KPK Merah Putih untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan," ucapnya.
KPK telah menetapkan Andi Merya dan Anzarullah sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengadaan barang/jasa di lingkungan Pemkab Kolaka Timur Tahun 2021.
Dalam konstruksi perkara, Andi Merya diduga meminta uang Rp250 juta atas dua proyek pekerjaan di Kabupaten Kolaka Timur yang berasal dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Adapun dua proyek pekerjaan tersebut, yaitu paket belanja jasa konsultansi perencanaan pekerjaan jembatan dua unit di Kecamatan Ueesi senilai Rp714 juta dan belanja jasa konsultansi perencanaan pembangunan 100 unit rumah di Kecamatan Uluiwoi senilai Rp175 juta yang akan dikerjakan Anzarullah.
Anzarullah telah menyerahkan uang Rp25 juta terlebih dahulu kepada Andi Merya dan sisanya Rp225 juta disepakati akan diserahkan di rumah pribadi Andi Merya di Kendari.
Adapun sisa uang Rp225 juta tersebut yang diamankan KPK saat OTT terhadap Andi Merya dan kawan-kawan.
Anzarullah selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Andi Merya selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.