Bisnis.com, MANADO – Produksi perikanan di Bitung, Sulawesi Utara, terus menunjukkan tren pertumbuhan positif hingga semester I/2019. Namun, jumlahnya masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri pengolahan lokal.
Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung Henry M. Batubara menjelaskan sampai Juni total produksi di Bitung mencapai 25.778 ton, tumbuh sekitar 18 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Jadi, sampai Juni produksi sekitar 26.000 ton, produksi tinggi pada Maret-Mei itu rata-rata hampir 200 ton per hari. Jumlah ini ada peningkatan, tahun lalu Juni itu sekitar 22,000 ton sampai 23.000 ton, hampir 18 persen peningkatannya,” ujarnya kepada Bisnis.
Jumlah produksi itu didominasi oleh ikan yellowfin atau tuna madidihang dan cakalang yang masing-masing tercatat sebesar 8.177 ton dan 8.781 ton. Adapun, produksi ikan tongkol tercatat sebesar 1.528 ton pada periode yang sama.
Sementara itu, produksi ikan bigeye atau tuna mata besar tercatat sebesar 46,85 ton pada Juni. Adapun sisa total produksi sekitar 7.244 ton berasal dari jenis ikan campuran, termasuk di dalamnya jenis ikan pelagis kecil.
Dari sisi nilainya, produksi perikanan Bitung mencapai Rp606,32 miliar, dengan penyumbang terbesar nilai produksi adalah jenis tuna maddihang sebesar Rp303,05 miliar. Adapun, nilai produksi tuna mata besar, cakalang, tongkol, dan campuran masing-masing tercatat sebesar Rp1,97 miliar, Rp181,4 miliar, Rp21,32 miliar, dan Rp98,57 miliar.
Dia menjelaskan jenis produksi tongkol dan cakalang terserap cukup baik oleh unit pengolahan ikan (UPI) yang ada di Bitung. Sementara itu, ikan-kan yang termasuk pelagis kecil lebih banyak dikirim ke pulai lain di luar Sulut.
“Dari angka tadi 26.000 itu itu 70% itu adalah tuna, 30% ini adalah ikan pelagis kecil. Nah, pelagis kecil ini kan tidak diperlukan, jadi sebagian besar ada yang dikirim keluar dari Sulut. Tapi angka ini juga baru dar Bitung, belum dari pelabuhan lain di Sulut,” jelasnya.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa hasil produksi saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan utilisasi UPI di Bitung. Dia menjelaskan untuk memaksimalkan kapasitas produksi, diperlukan sekitar 1.000 produksi ikan per hari.
“Namun, bukan berarti industri pengolahan tidak berjalan. Tetap berjalan dan tidak terhenti, cuma memang tidak full produksi. Kalau kami lihat, UPI yang memiliki armada penangkapan sendiri relatif lebih baik karena dia bisa ambil juga ikan dari pulau lain,” tuturnya.
Rata-rata produksi perhari sampai dengan Juni mencapai 143,21 ton, sedangkan rata-rata perbulan mencapai 4.296 ton. Jumlah tersebut lebih tinggi dari rata-rata produksi harian dan bulanan pada 2018 sebesar 136,98 ton dan 4.109 ton.
Menurutnya, hal ini juga menunjukkan dampak positif dari diberlakukannya Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 56 dan 57. Kedua peraturan itu mengatur penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap dan pelarangan alih muat atau transhipment di laut.
“Untuk penangkapan umumnya sudah membaik, yang lebih merasakan itu nelayan dengan kapal 30 GT ke bawah, yang dulu operasi penangkapannya 4-5 hari, sekarang sehari sudah berhasil. Mencari tuna dulu 2 minggu, sekarang 7 atau 8 hari bisa 40 ekor tuna,” jelasnya.
Larangan alih muat, lanjutnya, sudah teratasi dengan adanya operasional kapal penyanggah yang beroperasi di Bitung. Namun demikian, kekosongan produksi dengan hilangnya kapal-kapal asing berukuran besar masih belum sepenuhnya teratasi.
Dia mengharapkan kekosongan itu dapat diisi oleh kapal-kapal dari luar daerah Sulawesi Utara. Dia mengatakan, pihaknya tengah mengajak perusahaan penangkap ikan dari Jakarta dan Bali untuk melaut di perairan Bitung.
“Di Bitung dulu ada 92 unit kapal asing. Kapal lokal saat ini ada 1.100 unit, dengan ukuran macam-macam, 750-an itu kapal kecil di bawah 10 GT, yang 20 GT ke atas itu kurang lebih ada 400-an. Di atas 200 GT ada 2 sampai 3 unit,” jelasnya.
Utilisasi UPI
Meski demikian, Asosiasi Pengolahan Ikan mengatakan bahwa meski total produksi ikan tangkap meningkat pada tahun ini, tingkat utilisasi unit pengolahan ikan (UPI) di Bitung tak banyak berubah. Persoalan harga bahan baku ikan dinilai menjadi kendala utama.
Ketua API Bitung Basmi Said mengatakan bahwa harga ikan saat ini tercatat cukup tinggi. Persoalan ini membuat banyak pelaku industri pengolahan sedikit mengerem laju produksi karena khawatir merugi dengan harga pasar yang cukup rendah.
“UPI kapasitas produksi masih belum bergerak, di Thailand cakalang itu sekitar sekitar 17.000 sampai 18.000 per kilo, kalau di bitung sekitar 18.500, jadi banyak yang belum ambil order karena bergerak. Karena memang masih takut dengan harga, jadi lebih banyak ikan diantarpulaukan,” jelasnya.
Harga bahan baku yang menurutnya mahal itu juga membuat daya saing produk olahan ikan Bitung kalah jauh dengan negara tetangga. Dia mengatakan, tingkat utisasi UPI di Bitung saat ini masih di bawah 20% dari kapasitas terpasang.
Persoalan harga juga disebabkan oleh biaya pengiriman yang cukup tinggi. Dia mengutarakan saat ini tidak ada jalur ekspor langsung dari Bitung ke Amerika Serikat dan Eropa. Padahal, ekspor lanjut menurutnya dapat menghemat sekitar US$600—US$750 per full load container (FCL).
Dia mengharapkan pemerintah dapat memfasilitasi ekspor langsung serta menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara itu. Dia mengatakan bahwa saat ini ekspor dari Bitung dikenakan tarif sebesar 20,5 persen.
Hal ini membuat harga barang dari Thailand dan Vietnam dapat lebih diterima pasar. Negara-negara itu, lanjutnya memiliki akses ekspor langsung dan tidak dikenakan tarif tambahan untuk ekspor. Alhasil, produk pengolahan ikan dari Bitung sulit menembus pasar ekspor.
“Persoalannya, belum mau ambil action karena harga kita kalah. Di penjualan, karena bahan bakunya sudah mahal dan sementara kami beban cost terlalu tinggi, contoh untuk direct export, untuk satu kontainer biayanya besar,” tuturnya.
Di samping itu, dia mengharapkan penerbitan izin usaha perikanan untuk kapal-kapal penangkap dapat dipercepat untuk meningkatkan jumlah produksi di Bitung. Harapannya, suplai yang meningkat dapat menurunkan harga di pasar.
“Utilisasi paling tinggi setelah 2015 itu sempat 17,7 persen, sempat turun lagi ke 9 persen, sekarang ini hitungannya sudah naik bagus ke 19,6%. Namun, karena harga, mereka tidak mau beli karena. Rugi, harga ikan belinya mahal cost lain-lainnya tinggi sementara permintaan harga rendah,” paparrnya.