Bisnis.com, MAKASSAR - Perusahaan dinilai memungkinkan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga alih daya atau outsourcing yang tergabung dalam serikat pekerja termasuk jika dilakukan saat masih dalam durasi kontrak berjalan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Greg Chen, pada berbagai negara termasuk Indonesia, umumnya keberadaan Serikat Pekerja (SP) mewakili keberadaan pekerja permanen.
“Memang secara khusus ditemukan di Jepang, keberadaan para pekerja alih daya atau pekerja kontrak bisa diwakili SP. Jadi sistem kerja mereka diikat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),” katanya dalam rilis, Kamis (28/2/2019).
Greg mengaku tidak pernah mendengar ada SP yang kehadirannya mewakili pekerja alih daya atau pekerja kontrak di Indonesia. Keberadaan para pekerja yang sistem kerjanya diikat dengan PKWT, diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Meski di Indonesia tidak ada SP untuk perusahaan alih daya, lanjut dia, namun diakui di tahun yang lalu banyak juga penyalahgunaan UU Tenaga Kerja sehingga mendorong munculnya protes dari sejumlah SP.
Secara umum industrial, jenis usaha outsourcing terbagi pada dua bagian besar yakni usaha pemborongan murni serta usaha penyedia jasa tenaga kerja. Adapun untuk usaha pemborongan murni, biasanya perusahaan pemberi kerja meminta perusahaan vendor untuk menyediakan segala jenis bidang usahanya, mulai dari pengadaan tenaga kerja, sistem kerjanya, sampai manajemen supervisi.
Kemudian untuk usaha penyediaan tenaga kerja adalah perusahaan yang menyediakan tenaga kerja seperti outsourcing, dan sistem kontrak kerja sampai pemberian gaji dan monitoring termasuk supervisi sistem pelatihan, semuanya dilakukan perusahaan customer.
Merujuk pada hal tersebut, polemik yang kerap terjadi adalah menetukan solusi jika ada peruasahaan pemberi kerja yang mem-PHK secara sepihak terhadap karyawan outsourcing-nya yang tergabung dalam Serikat Pekerja.
Menurut Greg, kondisi tersebut harus dilihat dulu bagaimana ketentuan yang diberlakukan klien yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) kedua belah pihak.
“Masalah biasanya terjadi bila kontrak kerja tidak diperpanjang. Sesuai ketentuan perundang-undangan, sah saja memutus kontrak atau PHK saat di tengah jalan. Tapi Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani. Jika semua regulasi diikuti umumnya tidak akan terjadi masalah,” papar dia.
Di bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan, dan perbankan, bila aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik, maka akan berjalan mulus. Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh vendor. Ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati, mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit, dan menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartite dengan karyawan atau pekerja,“ kata CEO PT Outsource Indonesia ini.
Sebenarnya sistem pekerjaan kontrak tidak dapat diberlakukan terlalu lama lantaran terdapat jangka waktu masa kontrak pekerjaan, yaitu maksimal selama dua tahun. Selanjutnya bisa diperpanjang maksimal satu tahun. Setelah masa tersebut terlampaui, maka dapat diperpanjang lagi untuk dua tahun berikutnya, namun harus melalui masa pembebasan kontrak selama sebulan. Jadi siklus pekerja kontrak, maksimal adalah lima tahun masa kerja.
Adapun kondisi yang dicontohkan merujuk pada kasus PT Jakarta International Container Terminal (JICT), di mana pada 31 Desember 2017 kerja sama PT JICT dan perusahaan penyedia outsourcing, PT Empco berakhir – otomatis 400 karyawan outsource di bawah PT Empco harus putus kontraknya.
Sebenarnya hal yang wajar saja, bahkan ketika PT JICT mengontrak karyawan outsource baru, di bawah PT Multi Tally Indonesia, yang memang keluar sebagai pemenang tender perusahaan penyedia outsourcing berikutnya.
Yang terjadi kemudian adalah, para karyawan yang di bawah naungan PT Empco, menolak pemutusan hubungan kerja. Dan yang lebih tidak masuk akal, Serikat Pekerja JICT (SPJICT) menuntut perekrutan karyawan outsource tersebut untuk menjadi karyawan tetap.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Iftida Yasar mengemukakan, sebenarnya pekerjaan alih daya ataupun paruh waktu dilakukan melalui sistem kerja sama kedua belah secara business to business (B to B).
“Misalnya perusahaan pemberi pekerjaan seperti antara pihak pelabuhan dengan perusahaan penyedia jasa kontainer. Setelah itu perusahaan penyedia jasa outsourcing itu melakukan kontrak kerja dengan karyawannya, sehingga kerjasama ini melibatkan tiga pihak,” katanya.
Adapun terkait peran Serikat Pekerja (SP) dalam hubungan kerja dengan sistem outsourcing, SP memiliki hak untuk membela para anggotanya dalam mempertahankan hak-hak mereka.
"Misalnya, SP perlu mengetahui bagaimana proses berhentinya pekerjaan kontrak. Apakah perusahaan yang mempekerjakan mereka sudah memberitahukan hal tersebut kepada para pekerja, termasuk bagaimana bunyi perjanjian kerjasama mengenai berakhirnya kerja kontrak mereka.".
Khusus yang berkaitan dengan kasus PT JICT yang menghentikan 400 pekerja alih dayanya, Iftida yang juga konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) ini mengatakan, perlu melihat bagaimana bentuk perjanjian kerjasamanya. Artinya bagaimana pemberi pekerjaan saat mengikat kerjasama dengan perusahaan outsourcing, termasuk bagaimana kerjasama yang diikat dengan pekerja outsourcing.
Apakah pemberhentian kerja tersebut sesuai dengan isi perjanjian perihal masa kontrak kerja. Sebenarnya tidak akan terjadi masalah, sepanjang pemberi pekerjaan tetap memberikan hak mereka, saat kontrak diberhentikan melalui tindakan PHK. (K36)