Bisnis.com, MANADO — Tiga perusahaan energi disebut-sebut tengah menjajaki kemungkinan untuk melakukan penjualan avtur di Bandara Sam Ratulangi guna menekan tarif tiket angkutan udara yang menyumbang inflasi di Sulawesi Utara.
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey menengarai salah satu penyebab tingginya harga tiket angkutan udara di Sulut adalah penjualan avtur yang hanya dilakukan oleh satu operator yaitu Pertamina. Dengan demikian, dia menilai perlu adanya beberapa badan usaha penjual avtur untuk menciptakan tarif avtur yang lebih terjangkau.
“Kita lobi sekarang supaya avtur ini jangan cuma Pertamina yang jual di Bandara Samrat [Sam Ratulangi]. Karena kalau cuma Pertamina sendiri akibatnya monopoli, jadi harus ada saingan swasta satu, bisa domestik bisa internasional,” ujarnya seusai High Level Meeting Pengendalian Inflasi Jelang Natal dan Tahun Baru, Rabu (21/11).
Lebih lanjut, Gubernur Olly memerinci ketiga perusahaan energi yang dimaksud antara lain PT AKR Corporindo Tbk, PT Shell Indonesia, dan PT PP Energi. Menurutnya, ketiga perusahaan tersebut telah melakukan peninjauan di lapangan dan hanya tinggal menunggu penyesuaian regulasi.
Dia pun optimistis investasi tersebut dapat terlaksana pada tahun depan. Menurutnya, harga avtur yang murah akan berdampak pada harga tiket pesawat yang murah. Pasalnya, avtur berkontribusi hingga 35% terhadap biaya operasional penerbangan.
“Banyak perusahaan yang mau, tinggal kita buka regulasi. Mereka sudah hitung [investasi], sudah cari tanah dekat pelabuhan. Akan banyak investasi datang ke Sulut pada 2019, apalagi kalau tata ruang sudah berubah,” tambahnya.
Gubernur Olly menambahkan keterjangkauan tiket pesawat sangat penting mengingat provinsi yang dipimpinnya ini tengah gencar mempromosikan pariwisata. Terlebih pada tahun depan, Pemprov Sulut membidik kunjungan wisatawan mancanegara hingga 200.000 orang, naik dari tahun ini yang ditargetkan sebesar 120.000.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulut Soekowardojo menyatakan pada tahun lalu, Sulut berhasil mencatatkan angka inflasi terendah se-Sulawesi, yaitu 2,44% secara tahunan, lebih rendah dari inflasi nasional sebesar 3,61%. Namun, menjelang akhir tahun, perekonomian Sulut menghadapi tantangan pertumbuhan yang melambat, yaitu 5,66% dari kuartal sebelumnya 5,83%.
Di sisi lain, Sulut juga kembali mencatatkan inflasi sebesar 0,88% secara bulanan pada Oktober, setelah tiga bulan berturut-turut sebelumnya mencatatkan deflasi. Adapun secara tahunan, angka inflasi Sulut sebesar 1,59%. Meskipun dinilai masih terkendali, namun pihaknya menilai Tim Pengendali Inflasi Daerah [TPID] tetap perlu mewaspadai sejumlah tantangan pengendalian inflasi di akhir tahun ini.
“Kita tetap perlu waspadai tantangan ke depan. Kenaikan harga minyak dunia, tarif jasa transportasi angkutan udara, kenaikan permintaan barang dan jasa jelang Natal dan Tahun Baru,” jelasnya.
Adapun dalam tiga tahun terakhir, 10 peringkat teratas penyumbang inflasi di Sulut banyak mengalami pergeseran. Artinya, tidak ada komoditas yang secara konsisten memilki andil dominan, kecuali angkutan udara yang selama periode 2015 hingga 2017 konsisten memiliki andil dominan dalam inflasi dengan rata-rata sebesar 0,28%.
Dia menambahkan, program kerja berupa peta jalan pengendalian inflasi yang telah dilaksanakan bersama sejak 2015 antara Bank Indonesia dan Pemprov Sulut serta dinas terkait, perlu untuk lebih ditingkatkan. Menurutnya, kunci kesuksesan pengendalian inflasi terletak pada keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif antara berbagai pemangku kepentingan.