Bisnis.com, MANADO - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sulawesi Utara meminta pemerintah daerah untuk mempercepat pembentukan jaminan kredit daerah guna meningkatkan akses permodalan petani kelapa dan mendorong kinerja sektor pertanian di Sulut.
Pasalnya, sektor pertanian yang menghasilkan komoditas andalan ekspor dari Bumi Nyiur Melambai sedang mengalami tren penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, nilai ekspor komoditas lemak dan minyak hewan nabati Sulut pada Juli turun menjadi US$31,85 juta, dari sebelumnya US$50,49 juta pada Juni 2018. Padahal, komoditas ini berkontribusi 44,64% terhadap total ekspor Sulut.
Wakil Ketua Kadin Sulut, Daniel Pesik menjelaskan sejauh ini produk turunan kelapa seperti briket masih sangat sedikit di Sulut. Padahal, dia menilai produk turunan kelapa sangat potensial untuk memberikan nilai tambah terhadap terhadap industri pertanian.
“Di sini kelapa murah, cuma dibikin kopra, sebagian dibikin arang. Untuk briket belum. Jadi [produk] turunannya masih terbatas, sedangkan kalau di Filipina, produk turunan kelapa sudah ratusan jenisnya,” ujarnya, Kamis (23/8/2018).
Menurutnya, akses permodalan menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan industri pertanian di Sulut. Selain itu, regulasi yang ada juga belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan industri.
“Industri akan berkembang kalau keberpihakan dan regulasi pemprov lebih berpihak lagi. Contohnya pemerintah membuatkan jamkrida,” jelasnya.
Dia menilai kehadiran jamkrida akan membantu membuka akses permodalan bagi para pelaku industri khususnya yang berskala kecil dan menengah. Pasalnya, tidak semua pelaku usaha seperti petani memiliki jaminan yang dapat diagunkan ke bank untuk memperoleh kredit usaha.
Dengan adanya Jamkrida, pemerintah daerah dapat berperan dalam menyisihkan APBD-nya sebagai jaminan kredit para pelaku usaha. Dengan demikian, diharapkan industri turunan produk kelapa dapat lebih berkembang di Sulut.
“Modalnya seperti KUR [Kredit Usaha Rakyat], pemerintah pusat yang bikin. Tapi kan KUR terbatas, Cuma Rp500 juta maksimal, kalau kita perlu [pinjaman] miliar bagaimana? Nah, pemerintah daerah harus terlibat juga,” jelasnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Ateng Harsono mengatakan, pertumbuhan ekonomi Sulut pada kuartal II/2018 didukung oleh pertumbuhan hampir semua lapangan usaha kecuali lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan serta pengadaan air. Lima sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah jasa lainnya sebesar 12,72%, jasa kesehatan 9,98%, jasa perusahaan 9,73%, administrasi pemerintahan 8,98% dan transportasi 8,91%.
Dia menambahkan, sektor pertanian berkontribusi sebesar 20,59% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), terbanyak dibandingkan sektor lainnya. Sayangnya, sektor ini justru mengalami penurunan sebesar 0,30%, yang diakibatkan oleh penurunan produktivitas sub lapangan usaha makanan pangan seperti padi dan jagung, serta penurunan subsektor perkebunan seperti kelapa.
Penurunan kinerja sektor pertanian juga berimbas terhadap turunnya nilai ekspor Sulut pada Juli 2018 sebesar 10,75% menjadi US$73,31 juta dari sebelumnya US$79,92 juta pada Juni 2018. Penurunan yang terjadi pada Juli antara lain disebabkan oleh turunnya nilai ekspor komoditi lemak dan minyak hewani/nabati, yang dalam kurun waktu 6 bulan terakhir tetap mendominasi nilai ekspor Non Migas di Sulawesi Utara.