Bisnis.com, MAKASSAR - Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah menyatakan provinsi itu telah keluar dari zona merah pandemi Covid-19 berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid-19 pusat.
"Satu hal yang membanggakan bagi kita bahwa Sulsel salah satu provinsi yang memiliki kasus tertinggi di luar Pulau Jawa. Tetapi hari ini Satgas Penanganan Covid-19 pusat telah mengumumkan bahwa Sulsel sudah keluar dari zona merah," katanya saat menghadiri "Anging Mammiri Creative Festival" di Makassar, Rabu (7/10/2020).
Ia mengaku itu merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat, terkhusus Pemprov Sulsel, TNI-Polri, serta seluruh tenaga kesehatan selama penanganan Covid-19 di daerah itu.
Kendati demikian, ia berharap masyarakat Sulsel terus memperketat protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sampai saat ini belum diketahui pasti keberadaan vaksin pencegahnya.
"Ini bukan berarti kita sudah bebas, tapi kita harus memperketat lagi protokol kesehatan. Terus terang saya ingin mengatakan kepada kita semua bahwa vaksinasi belum tahu kapan bisa kita lakukan," katanya.
Gubernur menyebut salah satu vaksin alami yang paling baik adalah menjaga imunitas. "Jaga imun dengan gizi baik, istirahat yang cukup, minum vitamin dan jangan stres," kata Nurdin Abdullah.
Baca Juga
Sementara itu, Ketua Konsultan Covid-19 Sulawesi Selatan, Prof Dr Ridwan Amiruddin mengemukakan bahwa Provinsi Sulsel telah mencapai target tes nasional terhadap kasus Covid-19 di wilayah ini.
"Standar nasional untuk tes 1.000 penduduk per minggu itu 1/1000/minggu. Sementara Sulsel sudah sesuai standar karena sekarang sudah berada di 1.1/1000/minggu hingga 5 Oktober 2020," katanya.
Capaian target tes di Sulsel itu tidak lepas dari usap massal yang digelar Pemkot Makassar di beberapa kecamatan dengan total sampel sebanyak 3.650 orang dari sekitar 1,4 juta penduduk Kota Makassar.
Ridwan menyebutkan tes usap massal oleh Pemkot Makassar memberikan beberapa efek seperti meningkatkan target capaian tes Sulsel hingga 1,2/1000/minggu hingga 3 Oktober 2020 dan menurunkan "positive rate" dari sekitar 14 persen menjadi 8 persen.
"Jadi memang program itu mesti terus dikawal," demikian Ridwan Amiruddin, yang pakar epideomologi Universitas Hasanuddin itu.