Bisnis.com, MAKASSAR - Permasalahan lahan untuk proyek Kereta Api Trans Sulawesi kembali mencuat. Kali ini, permasalahan lahan untuk jalur rel kereta api untuk Maros - Makassar. Akibatnya, proyek tersebut terancam bakal dialihkan ke Pulau Jawa.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkeretapian Zulmafendi menyayangkan permasalahan lahan di wilayah tersebut terlalu berlarut-larut. Pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan permasalahan itu.
"Jika memang tidak siap, kami bisa memindahkan pembangunan proyek kereta api ini ke daerah lain," ungkap Zulfamendi.
Menanggapi hal itu, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah menilai permasalahan itu bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah setempat. Masyarakat tidak boleh menghalangi proyek strategis nasional (PSN) tersebut. Sebab pembangunan dilakukan sesuai rambu dan aturan yang berlaku.
"Ini bukan lagi ranah untuk mengancam-ngancam. Kita sudah bekerja maksimal, tinggal siapkan dananya untuk pembebasan lalu diselesaikan," terang Nurdin.
Seluruh pihak terkait kata dia, sudah bersinergi untuk merumuskan permasalahan itu. Termasuk dalam upaya mengumpulkan masyarakat di desa dan kelurahan terdampak proyek rel Kereta Api Trans Sulawesi yakni di Kecamatan Mandai, Desa Marumpa dan Kelurahan Hasanuddin, Kabupaten Maros.
Baca Juga
Diketahui, saat ini pengerjaan jalur Kereta Api Makassar - Parepare masih dikerjakan, dimana untuk segmen jalur Barru menuju Pelabuhan Garongkong telah diselesaikan konstruksinya.
Sementara pembangunan jalur KA Makassar-Parepare sediri rencananya dengan panjang track 142 km dengan 16 stasiun, dan dimulai sejak 2014 pada tahap I sepanjang 16,1 km di Barru, dan tahap II mulai 2015 sepanjang 51,1 km, tahap III Pangkep 40,5 km, tahap III Maros 22,5 km, dan tahap IV 2017-2019 sepanjang 4,9 km.
Di sisi lain, Pengamat Transportasi Lambang Basri menerangkan sebaiknya seluruh elemen saling mendukung terhadap pembangunan proyek KA Trans Sulawesi. Ia meminta adanya perbaikan sistem dalam membuat formulasi guna mendorong akselerasi pembangunan di Sulsel.
"Sistem kita kalau infrastruktur selalu saja persoalan lahan. Artinya, ada polarisasi pembebasan lahan itu harus diatur secara terpusat. Jadi mulai dari undang-undang, PTnya sampai SOPnya. Itu mesti diatur," terang Lambang.
Dalam hal ini, menurut Lambang yang juga mesti bekerja keras yakni tokoh masyarakat dengan pemerintah daerah agar bisa bekerjasama dengan masyarakat untuk memudahkan pembebasan lahan.
Kembali pada perundang-undangan, kata Lambang mestinya undang-undang pertanahan mengatur tentang lahan yang berpotensi digunakan untuk pembangunan infrastuktur baik jangka panjang, pendek dan menengah, bisa segera ditentukan oleh pemerintah.
"Jadi betul-betul pemerintah yang menjadi kendali. Pemerintah yang punya lahan. Satu orang menjadi kendali. Pemerintah memang harus bekerja keras dan terstruktur," jelas Lambang. (k36)