Bisnis.com, MANADO – Regulator memastikan tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Sulawesi Utara masih dalam kondisi normal meski kualitas aset kredit mencapai level yang mengkhawatirkan.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara (Sulutgomalut) Slamet Wibowo menjelaskan, per akhir Juni rasio kredit bermasalah BPR di Sulut mencapai 9,49% dari total kredit senilai Rp1,09 triliun.
Berdasarkan jenis kreditnya, hingga akhir semester I/2019 rasio non-performing loan (NPL) kredit modal kerja dan kredit investasi BPR di Sulut masing-masing mencapai 15,45% dan 12,40%. Adapun, NPL kredit konsumsi tercatat mencapai 6,99%.
Kendati demikian, Slamet memastikan tidak ada satupun BPR di Sulut yang masuk dalam kategori bank dalam pengawasan khusus (DPK). Namun, dia menjelaskan ada beberapa BPR yang masuk dalam kategori pengawasan normal dan intensif.
“Meskipun NPL BPR tinggi, tapi BPR di Sulut tidak ada yang masuk dalam kategori DPK. Masih normal rata-rata. NPL memang penting, tapi bukan satu-satunya parameter untuk menetukan tingkat kesehatan bank,” katanya akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, untuk menilai kesehatan suatu bank otoritas menerapkan analisis CAMEL. Analisisi itu terdiri dari penilaian terhadap capital atau modal, kualitas aset, manajemen, earning atau pendapatan, dan likuiditas.
Baca Juga
Dengan demikian, lanjutnya NPL hanyalah salah satu komponen yang dapat digunakan untuk melihat kualitas aset perbankan. Menurutnya, berdasarkan aspek lain pada analisis CAMEL itu, secara umum tingkat kesehatan BPR Sulut masih normal.
Meski NPL tercatat cukup tinggi, Slamet mengatakan bahwa BPR di Sulut masih dapat mencatatkan laba. Hal ini menunjukkan, kredit yang berkualitas rendah pada BPR masih dapat ditutupi oleh pendapatan dari aktiva yang berstatus lancar.
“Kan yang penting bagaimana bank ini masih bisa mencatatkan laba atau tidak? Jadi meski NPL tinggi tapi BPR di Sulut masih laba, dan itu tidak masalah. Karena BPR kan memiliki rate [bunga] yang cukup tinggi, masih bisa tertutupi oleh itu,” jelasnya.
Meski NPL kredit modal kerja dan kredit investasi melampaui dua digit, komposisi keduanya terhadap total kredit BPR di Sulut hanya mencapai 31,3%. Kredit konsumsi dengan porsi mencapai 68,3% dan NPL 6,99% mampu menutupi potensi kerugian dari dua jenis kredit itu.
Berdasrakan sektor ekonominya, penyaluran kredit kepada kegiatan usaha yang belum jelas batasannya dan perdagangan besar dan eceran mencatatkan rasio NPL tertinggi, masing-masing 23,69% dan 21,41%. Adapun, sektor konstruksi memiliki NPL paling rendah, yakni 1,61%.
Hingga akhir semester I/2019, total aset dari 18 BPR yang ada di Sulut mencapai Rp1,42 triliun, tumbuh 15,2% secara tahunan. Kredit dan dana pihak ketiga (DPK) masing-masing mencapai Rp1,08 triliun dan Rp1,81 triliun, tumbuh 22,93% dan 11,01% secara tahunan.