Bisnis.com, PALU – Sepasangan suami istri asyik bercengkerama duduk di bawah pohon kakao sambil membelah buah kakao hasil petikan hari itu.
Jhony dan istrinya Martha adalah petani kakao di Desa Sejahtera, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Di samping mereka tampak tumpukan biji kakao yang sudah dipisahkan dari kulit buahnya. Untuk membelah buah kakao, keduanya menggunakan alat sederhana seperti pisau dan parang.
Pasangan suami istri warga di Palu, Ibu Kota Sulteng tersebut, begitu gembira. Memang sangatlah beralasan mereka terlihat senang karena hasil panen buah kakao kali ini cukup mengembirakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Panen kakao pada musim panen 2018 ini lebih bagus dibandingkan sebelumnya," kata Jhony yang mengaku memiliki areal lahan kakao di Desa Sejehtera seluas 3 hektare.
Dia belum bisa memperkirakan hasil panen, tetapi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dia memastikan hasil panen tahun ini meningkat cukup signifikan.
Buah kakao kali ini, kata dia, memang cukup lebat. "Pokoknya berbeda dengan sebelumnya," kata Jhony.
Selama ini, petani di Kabupaten Sigi menjual langsung hasil panenannya kepada para pedagang pengumpul di Palu karena harganya cukup tinggi di pasaran setempat.
Harga biji kakao kering di tingkat pengumpul di Palu sekarang ini sekitar Rp28.000 per kg.
Menurut dia, harga kakao di pasaran saat ini terbilang cukup tinggi dan sangat menguntungkan petani, sebab bertepatan panen raya sedang berlangsung.
Petani di Kabupaten Sigi hingga kini masih bergantung sepenuhnya pada komoditas ekspor itu. Kakao masih merupakan komoditas primadona petani Sigi dan petani lainnya di seluruh wilayah Sulteng.
Ekspor Unggulan
Sementara Ketua Bidang Perdagangan Kadin Sulteng Achrul Udaya mengatakan kakao beberapa tahun lalu tercatat sebagai komoditas ekspor nonmigas unggulan terbesar di daerah itu. Kakao pada masa kejayaannya selalu berada di peringkat teratas perolehan devisa.
Realisasi ekspor kakao di era 1990 hingga 2000-an rata-rata menghasilkan devisa sebesar US$300 juta.
Harga kakao di pasaran lokal sempat mencapai Rp35.000 per kg pada saat terjadi krisis moneter pada 1998 - 1999.
Saat harga kakao di pasaran melonjak tajam, banyak petani di Sulteng yang tiba-tiba menjadi kaya mendadak.
Selain bisa membeli kendaraan mobil, banyak diantaranya yang memanfaatkan uang mereka dari hasil penjualan biji kakao untuk menunaikan ibadah haji.
Biji kakao petani Sulteng diekspor langsung dari Pelabuhan Pantoloan Palu menuju berbagai negara di Asia dan Eropa serta Amerika Serikat.
Achrul yang juga Sekretaris DPD Apindo Provinsi Sulteng itu mengatakan kakao tetap menjadi komoditas primadona petani.
Namun sayang, kata dia, sejak beberapa tahun terakhir ini, para eksportir di daerah ini tidak lagi mengekspor biji kakao langsung dari Pelabuhan Pantoloan.
Biji kakao produksi petani Sulteng kini banyak dijual keluar daerah seperti Makassar dan Surabaya. Sebagian lagi, biji kakao fermentasi dengan kualitas terbaik untuk bahan baku industri cokelat di Kota Palu.
Di Palu saat ini sudah ada rumah cokelat yang dikelola Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulteng.
Kehadiran rumah cokelat cukup membantu petani bisa menjual langsung biji kakao yang telah melalui sistem fermensai yang benar dan harganya jauh lebih tinggi dibandingkan biji kakao lainnya. Harga biji kakao berkualitas dibeli rumah cokelat berkisar Rp35.000 per kg.
Data Dinas Perkebunan Provinsi Sulteng menyebutkan produksi kakao petani Sulteng sebelumnya sempat berada pada posisi 250.000 ton per tahun.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, produksi kakao sempat menurun cukup drastis. Pada 2016 produksi kakao Sulteng sekitar 160.000 ton dengan luas areal lahan kakao sekitar 200.000an hektare. Hamparan tanaman kakao di Sulteng tersebar di 13 kabupaten dan kota.
Namun, daerah tertinggi produksi kakao yakni di Kabupaten Parigi Moutong mencapai 69.000 ton, menyusul Kabupaten Donggala sekitar 22.000 ton dan Kabupaten Sigi 19.000 ton.