Bisnis.com, MAKASSAR -- Bank Indonesia (BI) menilai sektor pariwisata, termasuk di Sulawesi Selatan (Sulsel) berpotensi menutup defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Hal ini dapat dilihat dari tren peningkatan kunjungan wisatawan yang masuk melalui Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar.
"Meningkatnya tren kunjungan wisatawan di Sulsel bisa ditandai dengan peningkatan pangsa Sulsel terhadap trafik bandara se-Indonesia. Bahkan, meningkat hingga 29,7% pada 2018," jelas Deputi Direktur BI Sulsel Dwityapoetra S. Besar dalam Editor's Day 2018: Tantangan dan Prospek Ekonomi ke Depan yang diselenggarakan oleh BI dan Bisnis Indonesia di Makassar, Senin (13/8).
Untuk meningkatkan pengembangan pariwisata di Sulsel, dia menyarankan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel meningkatkan perhatian dalam beberapa aspek.
Misalnya, dengan mencanangkan strategi 4A yakni Attraction (atraksi), Accessibility (penguatan akses), Ancillary (ketersediaan fasilitas tambahan), dan Amenity (perbaikan fasilitas). Selain itu, diperlukan pula koordinasi oleh seluruh stakeholder terkait dari sektor pariwisata.
"Di sini tentu dibutuhkan peran Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), Badan Promosi Pariwisata, dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sehingga ada sinergitas untuk mengembangkan satu daerah secara lebih fokus," papar Dwityapoetra.
Saat ini, Pemprov Sulsel sebenarnya telah mencanangkan Detailed Engineering Design (DED) dalam pengembangan sejumlah destinasi di beberapa daerah. Antara lain, destinasi wisata di Toraja Bulukumba Geopark Maros-Pangkep, Malino-Gowa, serta kawasan ekonomi khusus di Selayar.
Makassar juga didorong sebagai daerah perkotaan atau hub Indonesia Timur yang didukung oleh sejumlah event yang masuk dalam 100 Wonderful Event Indonesia 2018 seperi Makassar International Eight Festival and Forum MIEFF (F8), Pinisi, dan Lovely Desember.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2018 tercatat sebesar US$8 miliar atau 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut melebar dibandingkan dengan kuartal II/2017 yang sebesar 1,96% dan juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I/2018 yang sebesar 2,2% atau sekitar US$5,5 miliar.