Bisnis.com, GORONTALO - Pemerintah Provinsi Gorontalo optimistis dapat menurunkan angka kemiskinan di Gorontalo hingga mencapai 14% pada 2022. Adapun hingga Maret 2018, angka kemiskinan di Provinsi Gorontalo turun sebesar 0,33% dari periode September 2017, yaitu dari 17,14% menjadi 16,81%
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo, jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 sebanyak 198,51 ribu jiwa, sementara jumlah penduduk miskin September 2017 sebanyak 200,91 ribu jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo selama periode Maret 2018-September 2017 berkurang sebanyak 2,4 ribu jiwa.
Meski mengalami penurunan angka kemiskinan, nyatanya angka kemiskinan di Gorontalo masih menjadi yang tertinggi se-Sulawesi. Angka kemiskinan di provinsi tetangganya seperti Sulawesi Tengah 14,01%, Sulawesi Tenggara 11,63%, dan Sulawesi Barat 11,25%, Sulawesi Selatan 9,6 dan Sulawesi Utara 7,8%.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie meminta semua pihak tidak berpuas diri. Sebab ia menargetkan di akhir periode kepemimpinannya tahun 2022 nanti angka kemiskinan turun menjadi 14%.
“Penurunan ini baru awal, masih banyak pekerjaan rumah. Misalnya, Bagaimana program BPNTD (Bantuan Pangan Non Tunai Daerah) yang sudah kita alokasikan sejak November lalu bisa jalan dan dirasakan masyarakat miskin. Bagaimana bantuan pertanian, perikanan dan lainnya bisa tepat sasaran. Ini yang harus kita kejar,” ujarnya, seperti dikutip, Minggu (22/7/2018).
Di tempat terpisah, Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapppeda) Provinsi Gorontalo Budiyanto Sidiki mengaku bersyukur dengan capaian tersebut. Ia menilai turunnya angka kemiskinan dipengaruhi oleh dua hal, yakni pemerintah mampu menekan inflasi daerah serta semakin terarahnya intervensi warga miskin dengan menggunakan basis data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
“Selama periode itu, kita mampu menjaga kestabilan harga melalui intervensi pasar oleh Bapak Gubernur. Kalau biasanya intervensi pasar hanya pada hari-hari besar, tahun ini lebih intens hampir setiap bulan ada pasar murah. Secara psikologis intervensi ini mampu membuat pedagang berhati-hati menaikkan harga barang,” ujarnya.
Hal lain yang menjadi perhatian yakni mulai mengerucutnya intervensi program kemiskinan melalui basis data TNP2K. Pemprov dan kabupaten/kota saat ini sudah menjadikan basis data tersebut sebagai sasaran intervensi program.
Budi optimistis target 14% angka kemiskinan bisa teralisasi jika pemerintah konsisten dengan basis data terpadu. Selain itu, kebijakan penurunan beban pengeluaran pemerindah untuk dialokasikan pada peningkatan ekonomi masyarakat juga perlu dilakukan secara berkelanjutan.