Bisnis.com, MANADO — Sektor properti di Sulawesi Utara diprediksi semakin menggeliat setelah penerapan kebijakan pelonggaran Loan to Value (LTV) yang akan diterapkan oleh Bank Indonesia secara nasional mulai Agustus mendatang.
Ruddy Kululu, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Sulawesi Utara menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Sulut yang mencapai 6,68% pada triwulan I 2018, dan infrastruktur yang semakin berkembang menjadi sentimen positif bagi sektor properti pada tahun ini.
“Perkembangan properti untuk Sulawesi Utara baik, dengan adanya kebijakan LTV akan lebih baik lagi berlakunya nanti tapi mungkin [dampaknya] triwulan akhir setelah kebijakan itu diterapkan Agustus nanti,” ujarnya, Kamis (12/7/2018).
Dia menyatakan, secara umum pengembang properti di Sulut menyambut baik kebijakan tersebut. Pasalnya dengan kebijakan tersebut, persyaratan untuk pembayaran uang muka pembelian rumah pertama dikembalikan lagi kepada tiap-tiap bank sesuai profil risiko calon nasabah, dari ketentuan sebelumnya di mana uang muka ditetapkan minimal 15%.
Lebih lanjut, dia menilai geliat sektor properti di Sulut saat ini ditandai dengan banyak bermunculan pengembang properti baru terutama di pinggiran Kota Manado. Selain itu, juga ditandai dengan penjualan rumah komersil kelas menengah atas yang cukup menggembirakan. “Kami melihat sekarang banyak pengembang yang membuka daya beli masyarakat, baik untuk rumah subsidi maupun rumah komersil,” jelasnya.
Dia mengatakan sejauh ini sebanyak 70% dari 107 pengembang yang tergabung dalam REI merupakan pengembang perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Pada tahun lalu, pihaknya membangun setidaknya 4.500 unit rumah subsidi di Sulut.
Baca Juga
Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) total kredit yang diluncurkan di Sulawesi Utara hingga Mei 2018 mencapai total Rp35,41 triliun , atau tumbuh 9,21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp35,28 triliun.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara Soekowardojo menjelaskan, penyaluran untuk KPR mencapai 12% dari total kredit, atau sekitar Rp4,2 triliun hingga April 2018. Sementara, besaran kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) untuk KPR mencapai 5,7% dari total KPR yang disalurkan, atau mencapai Rp230 miliar.
Apabila dibandingkan dengan NPL dari total kredit yang mencapai 3,27% dari Rp35,28 triliun atau sebesar Rp1,15 triliun, maka rasio NPL untuk KPR mencapai 20% dari nominal NPL secara keseluruhan.
“Artinya sektor properti di sini lebih perlu mendapatkan perhatian. Dengan suku bunga yang relatif rendah, maka itu tidak menjadi faktor [penyebab tingginya NPL KPR], mungkin ada faktor lain bisa jadi terkait sumber penghasilannya,” ujarnya.
Dia menambahkan, Bank Indonesia melahirkan kebijakan pelonggaran LTV karena masih melihat sektor properti sektor yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhannya dinilai belum mencapai puncak sedangkan daya beli masyarakat masih ada.
Dia menegaskan, pelonggaran LTV ini hanya diberikan untuk pembelian rumah pertama, dan penentuan besaran uang muka dikembalikan kepada tiap-tiap bank yang menilai sesuai risiko profil nasabah.
Menurutnya, pelonggaran LTV tersebut juga hanya berlaku bagi bank yang memiliki NPL kurang dari 5%. Bila sebuah bank terbukti memiliki NPL KPR lebih dari 5%, maka ketentuannya kembali ke syarat LTV sebesar 15%.
“Kita harapkan kebijakan ini bisa direspon dengan baik. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara 6,68%. Kalau dari sisi itu, ada peluang bagi Sulawesi Utara untuk meningkatkan penyerapan kredit properti,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menilai dampak dari kebijakan pelonggaran LTV ini baru akan terasa pada tahun depan. Pihaknya pun mengaku belum menetapkan target ataupun proyeksi pertumbuhan KPR di Sulawesi Utara pasca kebijakan tersebut.
Meski demikian, dia optimistis kebiijakan tersebut juga memberikan efek positif secara tidak langsung kepada pertumbuhan industri semen, kayu, serta upah buruh di Sulawesi Utara.