Kendati berkontribusi signifikan terhadap PDB sebesar 57,6%, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) belum cukup mampu memantik gairah perbankan di Tanah Air agar lebih agresif menyalurkan pinjaman pada segmen tersebut.
Merujuk pada data statistik perbankan Bank Indonesia, penyaluran kredit segmen UMKM per kuartal III/2017 sebesar Rp904,3 triliun dengan pertumbuhan 8,3%, sedikit menurun bila dibandingkan dengan akhir 2016 yang bertumbuh 8,4%.
Adapun komposisi kredit yang tersalurkan ke UMKM itu hanya 19,7% terhadap total pinjaman yang disalurkan perbankan per kuartal ketiga tahun ini. Kondisi yang demikian membuat rasio penyaluran kredit UMKM terhadap GDP Indonesia masih tertahan pada level yang rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia.
Sebagai perbandingan, rata-rata rasio pembiayaan UMKM oleh perbankan pada negara-negara di Regional Asia terhadap GDP masing-masing sebesar 11,6%, sedangkan rasio di Indonesia hanya 7,1% terhadap GDP.
Ada banyak faktor yang ikut memicu kondisi tersebut, seperti tingkat resiko UMKM yang relatif tinggi yang tercermin dari rasio NPL di level 4,45% per kuartal III/2017 meskipun cenderung mengalami perbaikan dalam beberapa waktu terakhir.
Di sisi lain, pola penyerapan kredit UMKM masih terkonsentrasi di Jawa dengan komposisi 58,2% sedangkan selebihnya tersebar pada wilayah lain di Tanah Air.
Direktur Pengembangan UMKM Bank Indonesia Yunita Resmi Sari mengatakan bank sentral telah menerbitkan sejumlah kebijakan yang berorientasi mendorong perbankan agar lebih meningkatkan penyaluran kredit untuk UMKM.
Adapun pokok-pokok kebijakan itu seperti kewajiban perbankan umum memenuhi rasio tertentu perihal penyaluran pembiayaan maupun kredit UMKM secara bertahap.
Pada kebijakan tersebut, besaran rasio yang dipersyaratkan oleh bank sentral yakni 5% pada 2015, lalu 10% di 2016, sedangkan pada tahun ini dipersyaratkan pada rasio 15% dan tahun depan sebesar 20%.
Selanjutnya, terdapat pula kebijakan yang yang mengatur skema penyaluran kredit UMKM yang mana bisa dilakukan secara langsung oleh bank serta melaui kerjasama dengan pola executing, channeling dan sindikasi. Hal tersebut berlaku pula bagi kantor cabang bank asing maupun bank campuran yang beroperasi di Tanah Air.
"UMKM memiliki peranan yang strategis dalam sistem keuangan, 99% unit bisnis di Indonesia itu merupakan UMKM bahkan menyerap 97% tenaga kerja di Tanah Air," katanya dalam Media Gathering Bank Indonesia di Jakarta, belum lama ini.
Di sisi lain, sejumlah strategi bisa menjadi penopang dalam mendorong laju penyaluran kredit atau pembiayaan bagi UMKM oleh perbankan.
Pertama, kerjasama dengan lembaga terkait seperti sinergitas dengan program pemerintah seluruh tingkatan , sparkassen, BI, lembaga penjaminan serta marketplace.
Kedua, reorganisasi dan formulasi strategi perbankan serta peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM kredit UMKM.
Ketiga, penerapan Value Chain Financing (VCF), produk dengan bungan rendah, prosedur cepat dan mudah, serta penyaluran ke ASN yang memiliki usaha produktif.
Keempat, mitigasi resiko NPL melalui pembentukan tim khusus penyelamat kredit, alert system dan memonitor NPL hingga penyediaan konsultasi bisnis bagi debitur yang berpotensi gagal bayar.
Selain itu, pengembangan klaster UMKM potensial secara berkelanjutan juga menjadi salah satu alternatif dalam mendorong kualitas UMKM agar bisa menarik pinjaman dari perbankan.
Khusus bank sentral sendiri, papar Yunita, telah mengembangkan 169 klaster yang mencakup 20 komoditas pangan yang tersebar pada 44 kantor perwakilan BI di seluruh Tanah Air.
Klaster binaan BI itu memanfaatkan lahan seluas 6.298 hektare dengan penyerapan 29.250 tenaga kerja serta menarik pembiayaan maupun pinjaman secara kumulatif mencapai Rp24,2 miliar per semester II/2017.
Menurut Yunita, penguatan dua sisi juga menjadi sangat penting pula dilakukan untuk mendorong penyerapan kredit oleh UMKM. Adapun dari sisi pelaku UMKM, penguatan kapasitas SDM hingga penciptaan bisnis yang berkelanjutan dengan pendekatan ekonomi lokal menjadi salah satu alternatif.
Kemudian dari sisi perbankan, pemberian insentif, fasilitasi serta penguatan kerjasama dengan instansi. Secara terperinci, hal tersebut bisa diimplementasikan melalui pelatihan AO, sales, analis serta pemutus kredit dari pihak perbankan.
Selanjutnya adalah evaluasi defenisi kredit UMKM, perluasan cakupan perhitungan rasio kredit UMKM serta penciptaan database pemetaan yang update dan akurat terkait profil UMKM maupun klaster binaan yang berpotensi untuk dibiayai.