Bisnis.com, JAKARTA - Pelarangan pemajangan produk rokok di toko yang diatur melalui Peraturan Daerah No 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Bogor meresahkan pedagang ritel karena omzetnya berpotensi menurun.
Dalam kacamata hukum, larangan ini dinilai sebagai aturan yang kebablasan. Pasalnya, aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam PP tersebut, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di tempat penjualan.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menjelaskan, hukum Indonesia menganut asas lex superior derogat legi inferior yaitu bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Secara hirearkis, peraturan pemerintah lebih tinggi ketimbang peraturan daerah.
"Aturan tidak boleh mengedepankan satu kelompok, lalu meminggirkan kelompok lain," ujar Margarito dalam keterangan pers, Senin (13/11/2017).
Idealnya, lanjutnya, perda dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek kesehatan, ekonomi dan keberlangsungan usaha warga Bogor yang bergantung pada industri ritel.
Perda bermasalah tak hanya kali ini saja terjadi. Dalam beberapa tahun ini, banyak perda di Kota Bogor yang bermasalah dan telah dicabut, termasuk peraturan daerah terkait retribusi pemanfaatan ruang hingga retribusi izin usaha jasa konstruksi.
Terakhir, pada tahun 2017, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membatalkan tiga perda karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya. Ketiga Perda itu, yakni Penyelenggaraan Menara, Retribusi Jasa Umum dan Pengelolaan Sampah.
Agus, seorang pedagang kelontong di Kota Bogor mengaku kurang mengetahui soal larangan tersebut. Ia mengaku dirinya dan teman-teman pedagang kelontong lainnya merasa khawatir dengan larangan pemajangan produk rokok di toko mereka.
Pedagang, katanya, tidak mengetahui adanya sosialisasi ketentuan peraturan tersebut oleh pemerintah Kota Bogor.
Larangan ini berpotensi mengurangi omzet.
"Pedagang inginnya ya memajang barang dagangannya. Kalau tidak dipajang, pembeli kadang bingung akan barang yang bisa dibeli di toko tersebut. Peraturan ini tidak jelas, kamipun jadi khawatir bagaimana pelaksanaan ke depannya," ujar Agus.
Dia berharap, pedagang kecil juga diajak untuk merumuskan peraturan yang berpotensi memengaruhi pendapatan mereka. Dengan demikian, pemerintah bisa mendapatkan gambaran penuh mengenai kondisi di lapangan.
"Kami berharap ke depannya kami juga bisa dilibatkan dalam pembuatan peraturan, walau kami mungkin hanya melihat dari segi usahanya. Jadi pemerintah bisa mendapatkan gambaran yang lebih luas," tambahnya.