Bisnis.com, MAKASSAR - Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel menilai, selain kondisi alam, banjir bandang yang memporak-porandakkan Luwu Utara juga disebabkan oleh masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan izin usaha pertambangan.
Koordinator KPA Sulsel, Rizki Anggriana Arimbi mengatakan bahwa konsesi-konsesi tersebut menyebabkan dampak yang sangat fatal bagi keberlangsungan lingkungan sehingga memperparah potensi bencana.
“Di Hulu Maipi sungai Masamba, tak hanya kawasan sawit tapi juga berderet villa-villa mewah. Penggundulan lahan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sungai akibat pengikisan dan pengendapan,” ujar Rizki kepada Bisnis, Jumat (17/7/2020).
Berdasarkan data KPA Sulsel, Luwu Utara mempunyai luas wilayah 750.268 Hektare (ha) dan luas Hak Guna Usaha (HGU) adalah 90.045 ha. Sementara dari luas wilayah tersebut, tujuh perusahaan swasta menguasai 84.389 ha. Sementara satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 5.665.00 ha. Dari luas wilayah HGU tersebut, lebih dari 61.000 hektare diantaranya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Rizki Anggriani memaparkan, ditelisik dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Luwu Utara dan geoportal ESDM, lokasi-lokasi yang disebutkan masuk dalam kawasan rawan bencana.
Wanita yang akrab disapa Kiki tersebut menuturkan, Musibah yang terus berulang ini memperlihatkan pemerintah tidak merumuskan suatu kebijakan atau rencana strategis untuk menyelesaikan situasi seperti ini.
Baca Juga
Hal yang disampaikan oleh Kiki sejalan dengan paparan Ketua Pusat Studi Kebencanaan yang juga Guru Besar Teknik Geologi Unhas, Profesor Adi Maulana bahwa banyaknya aktifitas pembukaan lahan-lahan untuk perkebunan dan pemukiman yang tidak terkontrol di wilayah pegunungan atau hulu sungai menyebabkan terjadinya proses erosi yang sangat signifikan, dan akibatnya terjadi proses sedimentasi pada sungai yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan kondisi sungai secara umum terganggu.
Pembukaan lahan menyebabkan tanah menjadi rentan terhadap erosi permukaan, dan menyebabkan berkurangnya vegetasi. Akibatnya tanah di bagian hulu menjadi jenuh dan tidak mampu lagi untuk menyerap air hujan dengan baik (presipitasi menjadi semakin berkurang).
“Terbukanya lahan juga menyebabkan proses erosi semakin tinggi dan menghasilkan tumpukan material sedimen yang semakin besar yang mengisi saluran sungai dan terendapkan pada dasar sungai, menjadikan kapasitas atau volume sungai menjadi berkurang/terjadi pendangkalan. Kondisi ini menyebabkan Ketika terjadi hujan deras dalam waktu yang singkat, maka banjir akan terjadi. Banjir terjadi dengan cepat, atau yang sering disebut dengan banjir bandang,” kata Prof Adi.
Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) memang telah mengkaji potensi banjir di seluruh wilayah Sulawesi Selatan sejak tahun 2017, dan pada 2019 hasilnya adalah salah satu daerah yang berpotensi banjir dengan tingkat resiko tinggi yaitu Luwu Utara, khususnya Masamba dan sekitarnya.
Menurut Prof Adi, Penanganan banjir di daerah ini memerlukan sinergi dari semua stakeholder, terutama dinas teknis terkait. Tanpa adanya sinergi, tuturnya, akan sangat sulit mengatasi banjir yang kedepannya akan semakin sering terjadi. Semakin ekstrim nya curah hujan akibat perubahan musim global, ditambah dengan alih fungsi lahan yang semakin tidak terkontrol mengakibatkan kejadian banjir bandang akan terus semakin sering dengan intensitas semakin besar.
“Diperlukan kerja keras dan kerja cerdas semua pihak tanpa ada yang saling menyelahkan. Semua pihak, baik propinsi maupun kabupaten yang di dukung oleh pemerintah pusat di dukung oleh masyarakat diharapkan dapat saling bekerjasama untuk mengatasi bencana ini. Jika tidak, maka kejadian akan terus berulang.”
Pemerhati lingkungan, Muhammad Ibrahim menambahkan, dia dan beberapa rekannya di Masamba telah memperingatkan kepada pihak Pemkab Luwu Utara terkait dampak yang bisa ditimbulkan dari penambangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit.
Karena sebelumnya, banjir berskala kecil dan luapan air sungai Masamba, Meli dan beberapa sub-DAS (Daerah Aliran Sungai) sudah sering terjadi dan tahun 2020 mencapai puncaknya.
"Kami yang tergabung dalam komunitas hijau Luwu Utara sudah beberapa kali mengkritik pemerintah daerah bahwa sonasi daerah Luwu Utara yang termuat dalam regulasi rencana tata ruang wilayah itu tidak konsisten dari awal," ungkap Ibrahim saat dihubungi melalui pesan WhatsApp.