Bisnis.com, MANADO—Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara optimistis dapat memberbaiki kinerja pertumbuhan ekspor melalui pemanfaatan berbagai peluang baru.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor nonmigas Sulawesi Utara (Sulut) pada Februari mencapai US$71,18 juta, turun 5,75% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Nilai free on board (FOB) tersebut tercatat meningkat 13,25% apabila dibandingkan dengan Januari yang mencapai US$65,85 juta. Adapun, komoditas ekspor didominasi oleh produk olahan kelapa yang meningkat 45,57% dari bulan sebelumnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Sulut Jenny Karouw mengatakan bahwa perlambatan ekspor tersebut merupakan imbas dari perang dagang yang terjadi antar China dan Amerika Serikat.
Harga yang kurang baik di pasar global membuat eksportir cenderung menahan stok di dalam negeri.
“Ini pengaruh perang antara Siomay dan Hamburger ini. Perang itu masih tetap berpengaruh, karena eksportir kita masih menunggu harga yang lebih bagus. Jadi itu berpengaruh terhadap volume ekspor dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya kepada Bisnis, Senin (18/3/2019).
Baca Juga
Namun demikian, dia optimistis ke depan ekspor Sulut akan kembali meningkat dan kembali posisi yang kurang lebih sama dengan posisi pada tahun lalu.
Guna menggenjot pertumbuhan ekspor ke depan, pemerintah provinsi (pemprov) akan memaksimalkan pasar alternatif seperti Amerika Latin dan Afrika.
Menurutnya, sejalan dengan mekanisme suplai dan permintaan, peluang ekspor diyakini akan membaik. Pasalnya, negara-negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor komoditas dari Sulut, tidak mungkin membiarkan industri mereka bermasalah karena kekurangan pasokan.
“Peluang-peluang ini pasti akan beperngaruh terhadap ekspor kita ke depan, karena kalau kita barang-barang ditahan ini pasti berpengaruh terhadap industri di negera-negara yang biasanya mendapatkan bahan baku dari Indonesia, seperti rempah-rempah itu selalu di-supply dari Indonesia termasuk dari Sulut,” jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan Pemprov Sulut juga akan menggenjot industri perikanan untuk mendorong ekspor. Pasalnya, menurutnya potensi industri perikanan dalam berkontribusi terhadap ekspor masih sangat besar.
Beberapa rencana pembukaan rute penerbangan kargo ke negara seperti Jepang dan Filipina diharapkan dapat memfasailitasi para eksportir di bumi Nyiur Melambai. Dia menerangkan, hal itu juga akan diiringi dengan rencana pembentukan hilirisasi industri perikanan di Kawasan Ekonomi Khusus Industri di Bitung.
“Selama ini memang ada pabrik ikan pengalengan di Bitung, tapi belum pakai label, labelingnya di Korea, di Jepang. Kalau ini kita bisa lakukan di kawasan ekonomi khusus maka proses hilirisasi akan terjadi, jadi kita tidak mengirim dalam bentuk bahan mentahnya, tapi kita sudah komoditas industri,” jelasnya.
Meski cenderung menurun secara tahunan, ekspor pada Februari menunjukkan adanya perubahan pola yang signifikan. Pada Februari tahun lalu, nilai ekspor mengalami penurunan dari Januari, sedangkan pada tahun ini sebaliknya. Dia mengharapkan pola tersebut dapat terus dipertahankan hingga akhir tahun ini.
CHINA
Pada Februari, China menjadi tujuan ekspor dengan nilai terbesar dari Sulut, mencapai US$14,16 juta. Sepanjang 2 bulan awal tahun ini, ekspor ke China sudah mencapai US$21,05 juta, melampaui total ekspor ke negara tersebut pada tahun lalu US$16,96 juta.
Pada periode yang sama, impor dari China juga menjadi yang tertinggi mencapai US$1,35 juta atau setara 63,3% dari total impor. Berdasarkan jenis barangnya, mesin-mesin/pesawat mekanik menjadi yang tertinggi dalam menyumbang impor Sulut, mencapai US$839.990.
Jenny menjelaskan, tingginya kontribusi China terhadap ekspor dan impor tak lain merupakan buah dari kerja sama yang dibangun antara pemerintah pusat maupun pemprov Sulut dengan negara tersebut. Selain itu, maraknya penerbangan langsung dari Negeri Panda turut berkontribusi.
“Sebenarnya kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, China di bawah dari Amerika dan Uni Eropa tapi dengan adanya dibukanya arus pelayaran. Penerbangan ke China, dan beberapa kunjungan Presiden dan Gubernur juga ini turut meningkatkan ekspor kita ke China,” jelasnya.
Sementara itu, impor dari China yang meningkat pada barang-barang mesin dan mekanik menurutnya disebabkan oleh kebutuhan barang modal industri pengolahan kertas dan limbah yang sedang membangun pabrik di Sulut.
“Saya memberikan contoh PT Futai yang membangun di KEK, dia sudah membangun barang-barang mesin yang akan digunakan untuk pabrik pengolahan kertas dan pengolahan limbah,” ujarnya.
Adapun, total impor ke Sulut sepanjang Februari mencapai US$2,14 juta, menurun dibandingkan posisi Februari tahun lalu sebesar US$2,86 juta. Nilai tersebut juga tercatat menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$7,99 juta.
Dengan kinerja ekspor—Impor tersebut, neraca dagang Sulut tercatat surplus US$69,04 juta. Nilai ini mengalami pertumbuhan positif dibandingkan Januari yang tercatat senilai US$57,86 juta. Namun, posisi neraca dagang itu menurun dibandingkan dengan Februari tahun lalu yang mencapai surplus US$72,66 juta.