Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPOM Minta Daerah Awasi Produk Mengandung DNA Babi

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk memantau dan melakukan penarikan produk yang tidak memenuhi ketentuan, termasuk yang positif mengandung DNA babi.

Bisnis.com, JAKARTA--Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk memantau dan melakukan penarikan produk yang tidak memenuhi ketentuan, termasuk yang positif mengandung DNA babi.

Berdasarkan keterangan resmi, berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran (post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa 2 produk terbukti positif mengandung DNA babi, yaitu Viostin DS produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101.

BPOM telah menginstruksikan Pharos Indonesia dan Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut. "Pharos Indonesia dan Medifarma Laboratories telah menarik seluruh produk Viostin DS dan Enzyplex dengan NIE dan nomor bets tersebut dari pasaran, serta menghentikan produksi produk," demikian keterangan resmi BPOM, Rabu (31/1/2018)

BPOM secara rutin juga melakukan pengawasan terhadap keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk dengan pengambilan sampel produk beredar, pengujian di laboratorium, serta tindak lanjut hasil pengawasan.

Menanggapi hal tersebut, Ida Nurtika, Corporate Communications Director Pharos Indonesia, menyatakan pihaknya selaku produsen Viostin DS yang sudah berdiri di Indonesia sejak 45 tahun lalu, sangat menjaga kualitas dari seluruh produk yang dihasilkan, mulai dari pengujian bahan baku hingga produk jadi yang dihasilkan.

Ketika ada temuan indikasi kontaminasi oleh Badan POM pada akhir November 2017 lalu, perseroan melakukan upaya penanganan sesuai dengan arahan BPOM, yang dimulai dari penarikan bets produk yang diduga terkontaminasi, menghentikan produksi dan penjualan produk Viostin DS.

"Sebagai bentuk tanggung jawab selaku produsen, kami berupaya menarik seluruh produk Viostin DS dari berbagai wilayah di Indonesia," ujarnya.

Secara internal, Pharos Indonesia secara aktif melakukan penelusuran sumber dugaan kontaminasi terhadap bahan baku yang digunakan dan produk jadi, dimulai dari tempat produksi produk jadi, kualitas bahan baku, tempat penyimpanan bahan baku, produsen bahan baku, dan juga di tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya kontaminasi.

Berdasarkan hasil penelusuran, lanjut Ida, pihaknya menemukan bahwa salah satu bahan baku pembuatan Viostin DS, yakni chondroitin sulfat, yang didatangkan dari pemasok luar negeri dan digunakan untuk produksi bets tertentu, belakangan diketahui mengandung kontaminan.

"Kami telah menyiapkan alternatif pemasok bahan baku dari negara lain yang telah bersertifikat halal di negara asalnya dan telah lulus uji Polymerase Chain Reaction," katanya.

Untuk menjamin kepentingan konsumen, Pharos Indonesia berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan BPOM dalam menyelesaikan persoalan ini.

Sementara itu, Vincent Harijanto, Ketua Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi), mengakui produsen farmasi memang mengalami kesulitan untuk memastikan bahan baku dan bahan penolong 100% bebas dari bahan non halal. Hal ini disebabkan bahan baku obat-obatan didominasi oleh impor.

"Untuk Pharos, saya menilai ini bukan kesengajaan mereka untuk menggunakan bahan baku, bahan penolong, atau proses yang tidak halal," katanya.

Menurutnya, BPOM memiliki alat tes untuk mendeteksi kehalalan produk yang sangat sensitif, sehingga tidak memungkinkan pabrikan farmasi melakukan kesengajaan dengan menggunakan bahan-bahan dan proses produksi yang tidak halal.

"Ibaratnya, bahan kami dekat asap yang non halal saja kemungkinan produk terdeteksi haram," jelas Vincent.

Terkait dengan kewajiban penerapan sertifikasi halal untuk produk makanan dan farmasi, Vincent menyatakan asosiasi meminta perpanjangan waktu kepada pemerintah untuk mempersiapkannya karena memang tidak mudah untuk menerapkan sertifikasi halal untuk seluruh produk farmasi. Selain itu, beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim juga tidak semua menerapkan sertifikasi halal untuk produk farmasi.

Dia menyebutkan sertifikasi halal untuk produk makanan akan diterapkan pada tahun ini dan untuk produk farmasi pada 2019. "Namun, ini bukan berarti kami tidak mau memenuhi anjuran pemerintah, kami akan terus berusaha," tegasnya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper