Bisnis.com, MAKASSAR - Hampir dua dekade lalu, kakao senantiasa menjadi komoditas unggulan Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam menopang kinerja ekspor daerah ini.
Pada masa kejayaannya dahulu, komoditas kakao Sulsel menjadi primadona pada sektor perkebunan sejalan dengan tingkat kesejahteraan para petani kakao di sentra-sentra produksi.
Kakao Sulsel meredup pada awal milenium sebagai konsekuensi dari kian kompleksnya permasalahan yang mendera komoditas ini.
Pada saat itu, Sulsel masih menjadi daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan produksi rerata sebesar 184.000 ton per tahun. Namun seiring dengan berjalannya waktu, produktivitas kakao Sulsel terus terkoreksi dan saat ini berada di posisi ketiga secara nasional.
Pada tahun lalu, produksi kakao Sulsel mencapai 118.148 ton dengan luasan lahan 196.378 hektare (ha) atau 13,11% dari luas lahan kakao nasional yang mencapai 1,5 juta ha.
Kondisi itu membuat Sulsel berada pada posisi ketiga secara nasional untuk produktivitas kakao, di bawah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Tergerusnya performa kakao di Sulsel itu dipicu kompleksitas persoalan, mulai dari perubahan iklim, lalu usia tanaman yang sudah tua, memburuknya manajemen tanam, serangan hama, hingga peremajaan tanaman kakao yang tidak disertai penyediaan bibit berkualitas.
Implikasinya luasan lahan perkebunan kakao menyusut, lantaran banyak petani yang beralih pada tanaman pangan yang dinilia memiliki keekonomian lebih tinggi disertai peremajaan relatif lebih cepat.
Namun, Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sulawesi Selatan Causa Iman Karana memandang kakao masih memiliki prospek yang besar untuk bisa kembali sebagai komoditas unggulan Sulsel seperti pada masa kejayaannya beberapa tahun lalu.
Menurutnya, penerapan keberlanjutan produksi kakao atau sustainable cocoa production bakal memiliki efek berganda yang sangat inklusif pada ekosistem kakao di wilayah itu untuk jangka panjang.
Bank Indonesia, lanjutnya, juga sudah aktif melakukan upaya mendorong kinerja kakao Sulsel melalui jalinan kerja sama riset dengan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang mulai berjalan sejak 2021.
Kolaborasi itu mencakup fokus pada cocoa digital farming pada sentra produksi di Kabupaten Luwu Utara. Ke depannya, hasil riset dan kajian itu diharapkan bisa menjadi acuan dalam penerapan digital farming pada berbagai sentra produksi kakao yang ada di Sulsel.
“Digital farming diimplementasikan melalui penggunaan aplikasi yang menyediakan secara digital perihal informasi pembudidayaan, pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemupukan, dan pemangkasan, pemanenan dan peremajaan kakao,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.
Dia menambahkan kakao Sulsel memiliki potensi ekspor Sulsel ke pasar global yang sangat besar hingga jangka panjang.
Data dari The World Cocoa Foundation mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan kakao sebesar 3% per tahun secara global selama beberapa dekade terakhir. Analisis dari Cocoa Barometer pada 2020 mengindikasikan adanya defi sit pemenuhan kebutuhan kakao sekitar 500 metrik ton di kawasan Asia sendiri.
“Tentunya, dalam mengoptimalisasi peluang global ini, penerapan prinsip sustainable cocoa production menjadi salah satu kunci utama perluasan pasar ekspor kakao Sulsel,” katanya.
Pengamat pertanian dari Unhas La Ode Asrul telah mengingatkan pemerintah terkait penurunan produktivitas kakao Sulsel yang dipicu berbagai macam persoalan.
“Fenomena menurunnya produksi dan produktivitas kakao di Sulsel harus jadi perhatian serius semua elemen terkait. Apalagi, produktivitas sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang akhir-akhir ini cenderung berfl uktuasi dan sulit diprediksi di sentra-sentra utama khususnya. Di samping itu tanah sudah dalam kondisi tidak seimbang. Artinya, kondisi tanah sudah menunjukkan keletihan [soil fatigue],” jelasnya.
PERAN SWASTA
Upaya mengembalikan produktivitas kakao di Sulsel juga didukung oleh salah satu perusahaan swasta yang berfokus pada pengembangan kakao, PT Mars Symbioscience Indonesia.
Perusahaan yang berbasis di Kota Makassar ini, tengah mendorong kesejahteraan 9.000 petani kakao di Sulawesi dengan menciptakan ekosistem kakao modern yang diperkirakan mampu meningkatkan pendapatan petani kakao di wilayah ini 15%.
Upaya itu termanifestasikan melalui Program Advancing Cocoa Agroforestry Towards Income, Value, and Environmental Sustainability (ACTIVE) yang telah berjalan pada tahun ini.
Upaya ini ditargetkan bisa meningkatkan pendapatan petani dalam kurun 4 tahun ke depan, serta mengurangi jumlah petani yang hidup di bawah tolok ukur pendapatan hidup layak hingga 20%.
Corporate Affairs Director Mars Jeffrey Haribowo mengatakan ada beberapa stimulus dalam program ini untuk para petani yakni fasilitasi petani guna menerapkan sistem agroforestri yang terukur dan berbasis bukti untuk memperkuat keanekaragaman hayati dan meningkatkan produksi kakao.
Menurutnya, sistem agroforestri ini telah disosialisasikan ke para petani, bahkan beberapa dari mereka ada yang menerapkannya sendiri.
Beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara bahkan ada yang memadukan tanaman kakao ini dengan kopi, kelapa, dan mangga. Selain berfungsi untuk melindungi tanaman kakao, beberapa tanaman tersebut terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani. Beberapa tanaman tersebut juga dianggap tidak akan mengganggu pertumbuhan kakao.
“Konsep ini kan sudah banyak diterapkan, tapi untuk kakao ini belum dimaksimalkan. Di Filipina contoh, kakao dengan kelapa. Di Indonesia belum banyak yang tahu, makanya kita bantu mana tanaman yang cocok,” katanya kepada Bisnis, di fasilitas pengembangan dan riset kakao Mars Symbioscience di Luwu Timur, Sulsel, belum lama ini.
Mars, lanjutnya, memfasilitasi ekosistem pertanian kakao yang lebih beragam dengan merekomendasikan tanaman jangka pendek dan jangka panjang yang tepat. Upaya ini bakal membantu petani memperoleh pengetahuan dan peralatan guna mendukung diversifikasi tanaman.
Selain itu, Mars juga terus mendukung terwujudnya inklusi keuangan dan memberikan kemudahan akses petani ke pembiayaan digital dan solusi asuransi tanaman untuk membantu membiayai peralihan menuju ekosistem pertanian kakao yang terdiversifikasi.
Pihaknya akan mempertemukan kelompok pemerintah, industri, dan kelompok tani kunci untuk membantu menciptakan pasar dan aturan yang diperlukan untuk menyukseskan ekosistem pertanian kakao yang terdiversifikasi.
Program ini bakal dilaksanakan melalui pengembangan kapasitas 9.000 petani kakao di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, Sulsel, serta Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. “Diharapkan melalui program ini dapat meningkatkan kesejahteraan para petani kakao,” tutupnya.